Hello, Nichi here
Selamat weekend buat kalian yaa,
Sempet-sempetin ketemu Abim yuk hari ini hihihihiJangan lupa vote and komennya ya, ditunggu ama Abim nih
Semoga suka chapter kali ini
Enjoy 💕***
POV : ABIMANTARA
Aku melihat sekilas seseorang sedang bersandar di sisi tembok kelas. Siapa peduli, mungkin saja sedang menunggu seseorang keluar dari dalam. Aku melangkah lurus menuju parkiran motor, sialnya kunci tak berhasil kutemukan dalam tas. Sedikit panik aku berbalik ke arah kelas berada. Barangkali, tertinggal di laci meja. Langkah yang terayun kemudian tertahan.
Bodoh! Kenapa aku malah bersembunyi disini? Netraku menangkap sosok Kak Dewa sedang sibuk mengaduk tas sambil meneruskan langkah mengikuti dua gadis yang terlihat tak menyadari keberadaannya. Ah, sialan! Jangan bilang dia hendak— tentu saja!
Alana menerima buku catatan yang dipinjamkan oleh si pemilik tahta peringkat pertama sepanjang tahun ajaran berlangsung. Tak bisa dibiarkan begitu saja, setelah mereka lewat. Lantas, aku meneruskan maksud mencari di mana kunci motor berada. Kemudian segera pulang ke rumah. Ibu pasti sudah menunggu.
Hari ini tak cukup sulit, belum. Pembelajaran yang sesungguhnya baru akan dimulai saat praktikum berlangsung. Nilai untuk praktikum jauh lebih tinggi ketimbang kelas teori, jadi aku akan fokus mengupayakan yang terbaik di bagian tersebut jika Alana sudah mengantongi jalur lain.
“Bim,” panggil Ibu terdengar.
“Ibu manggil, ada yang ibu perlu?” tanyaku pelan sambil membantunya duduk.
Ibu menggeleng dan tersenyum, tak lama setelah mendapatkan posisi nyaman dia membelai kepalaku dengan lembut. Jemarinya berhenti di pipi kiriku lalu mencubitnya.
“Duh, Ibu nih, aku udah gede tau, masak gitu mulu.”
“Senyum makanya, cari temen. Jangan ditekuk terus itu muka! Maen sana!”
“Haris lagi sibuk, aku juga. Ada tugas, Bu.”
“Temen yang lain dong, ‘kan sekolah baru.”
“Justru itu, baru juga hari pertama, Bu.”
“Alasan, pas MOS ngapain aja kalo begitu, hm?”
Nah, berdebat dengan seorang wanita memang hanya akan berakhir pada kekalahan dan kesalahan. Sepintar apapun kita melompatinya, entah bagaimana mereka selalu saja menemukan celah untuk menjebak kita masuk dalam lubang yang kita gali sendiri. Percuma, jadi mari anggukkan dan senyum sedikit saja malam ini.
“Ya, iya, siap salah, Bu.” Aku pasrah, sambil memijat kaki ibu.
“Lain kali, bertemanlah dengan yang lain juga, Abim, mainlah. Kota Surakarta itu indah loh, sayang sekali jika tak dinikmati. Kelak, saat kamu pergi bekerja jauh, pasti merasa rindu pada kota ini.” Ibu menyentil ujung hidungku, berakhir terkikik pelan.
Maaf, bukannya tak mau, Bu. Aku hanya takut tak mampu mengimbangi teman-teman yang lain saat sudah bergabung nanti. Bagaimana jika mereka menjauhkan kita? Siapa juga bertanggung jawab pada biaya pendidikan yang tergantung dari kapasitas otak ini? Aku tak begitu yakin, jika layak dan seringkali terdiam hanya demi menyelesaikan keributan yang terjadi antara rasa dan logika.
“Iya-iya, Bu. Udah, makan dulu kalo gitu terus minum obatnya.”
“Tunggu, janji dulu, ayo!”
“Janji apa lagi sih, Bu?”
“Bawalah teman-temanmu kesini kalo sudah dapat, ya?” Tak bisa ku tolak lagi, netra senja itu berbinar sambil menatap penuh harap.
Aku adalah anak satu-satunya, pengharapan terakhir dari ibu ketika bapak memutuskan untuk merantau meninggalkan kami kala itu. Nyatanya, dia tak kunjung kembali hingga hari ini. Entah, berada dimana, masih adakah sosoknya atau sudah rata dengan tanah? Kami sama sekali tak tahu-menahu, Ibu menggantungkan nasib kepulan asap dapur dari hasil berjualan jajanan di pasar. Dia memasaknya bersamaku, tetapi sudah dua hari ini libur. Ibu demam, tubuhnya mulai sering kelelahan. Baru sampai rumah di malam hari dan harus terbangun lagi untuk memasak pada dini hari lalu mulai berangkat ke lapak jualan sebelum subuh. Bagaimana menurutmu?
Cukup beruntung, aku selalu mendapat bantuan untuk sekolahku. Kali ini, sedang mencoba peruntungan di sekolah swasta. Namun, tentu saja aku harus sangat ekstra karena begitu banyak yang mengincarnya. Sekolahan favorit ini menjamin langsung mendapat pekerjaan setelah lulus nanti. Jarak dan tembok yang ku buat sangat jelas dan tegas. Sengaja agar tak ada yang berani melewatinya, aku memberi batas pada tiap orang yang kutemui. Haris sudah cukup.
Ancamanku hanya satu, perebutan kursi peringkat. Sepertinya saingan saat ini cukup berat, tiga besar peringkat kemarin berada satu lingkaran bersama. Apalagi si centil satu itu, lebih mudah baginya karena mendapat perhatian khusus dari senior.
“Abim, kok malah meneng.” Suara ibu membuyarkan lamunan panjang, sambil ditepuknya pahaku cukup kencang.
“E-eh, i-iya, Bu, nanti dibawa kesini maen,” sahutku sedikit gagap.
Setelahnya, kami menikmati makan malam sederhana yang tersaji di meja. Lalu aku mulai menguleni adonan kue yang biasa ibu lakukan. Tak lupa ditutup kembali buku tugas terlebih dahulu. Terpaksa ditunda ketimbang ibu harus menguleni sendirian malam ini. Suhu tubuhnya baru juga turun, masih dalam proses pemulihan. Akan tetapi, tak ada waktu lagi untuk libur karena jika jualan libur maka mulut dan perut kami juga harus libur. Berat? Ah, tidak juga. Bukankah itu sudah fitrahnya manusia, untuk terus berusaha selama masih diberi napas. Kurasa itu sudah sewajarnya.
Jarum jam telah hampir menunjuk angka dua belas malam ini. Dapur sudah rapi, sebelum pukul dua pagi catatan di buku yang tertutup tadi sudah penuh. Terdapat beberapa gambar juga beserta keterangannya. Sudah, selesai tugas malam ini. Tak perlu khawatir tentang tugas sekolah yang akan dikumpulkan minggu depan. Aku memang tak suka menunda pekerjaan apapun karena sudah terlalu banyak pekerjaan yang melambai minta diselesaikan. Baru juga mataku mulai terpejam ketika suara ketukan pintu membuat hawa dingin sekitarku terasa berbeda.
“H-hah? Nggak salah, ada tamu jam segini?” bisikku sendirian sambil menajamkan pendengaran.
Tak ada suara, ku letakkan lagi punggung ke kasur dan menarik selimut hingga bahu. Gagal! Lagi-lagi terdengar suara ketukan, kali ini lebih brutal. Sialan, siapa yang iseng di jam begini! Sedikit terpancing emosi, aku melangkah mantap.
Lalu pijakan kakiku goyah, saat sampai di balik pintu. Ish, angin malam sialan, bikin tambah merinding!
“Siapa?” aku sedikit mengeraskan suara.
Ibu terbangun dan menyusul sambil bertanya, pertanyaan yang sama seperti milikku tadi. Namun, tetap bisu saja si pengetuk pintu bandel satu ini.
“Tunggu, Abim, sebentar. Yuk!” Ibu menahanku sejenak lalu mengambil sapu dari belakang lalu mengangguk di sebelah, mengambil ancang-ancang.
Perlahan aku memutar kunci pintu dan menarik gagangnya menimbulkan suara decitan panjang dan seorang pria muncul mengenakan topi di baliknya. Ibu menatap tanpa suara, apalagi aku. Siapa dia, mau apa bertamu di larut malam begini?
*********
NOTE!
meneng : diam
*********
Duh, mana udah lewat tengah malem siapa juga yang bertamu sih?
Ikuti terus kelanjutan kisahnya ya,
Jangan lupa vote dan komennya, teman-teman ….
Terima kasih banyak-banyak yang sudah mampir, love you all 💜Kalian bisa banget temenan ama author di instagram dan tiktok: @nichi.raitaa
Feel free to share anything with me, dm for follback yaa :3
KAMU SEDANG MEMBACA
Secret Face (END)
Teen FictionBagaimana jika ternyata semua keindahan itu hanya sebuah jebakan? Begitu sudah berhati-hati, tetapi seseorang menarik terlalu kencang hingga akhirnya terperosok juga ke dalam. "Hhhh ... katanya, semua yang terjadi di dunia ini tak ada yg kebetulan."...