Hai hai, guys …
Gimana hari ini?
Meski mungkin terasa berat, aku selalu berharap kalian tumbuh makin kuat.
Semangat, ya. Aku bisa banget jadi temen buatmu, kapanpun.Alana juga pasti seneng bisa nemenin hari kamu.
Lanjut lagi yuk, bareng kita.
Jangan lupa vote dan komennya, ya BebEnjoy💕
***
Tak ada lagi yang kuharapkan di dunia, selain ada kamu di dalamnya. Aku hanya ingin ada yang bertanya, apakah aku sedang bahagia? Sebab, aku lupa cara tertawa sebenarnya.
***
Aku seperti menggali kuburan sendiri. Padahal, aku hanya ingin mereka semua berhenti. Namun, yang terjadi justru sorak-sorai dari seluruh penjuru tertuju padaku saat ini. Salah kaprah! Aku sedang berdiri, setelah mendengar nama yang diserukan oleh salah satu senior. Tentu saja aku harus membaca surat yang ku buat, astaga. Sudah mirip kepiting rebus sepertinya, wajah terasa panas hingga ke bagian telinga.
“Kak Janu—” Kalimat yang keluar tak jadi lengkap, sorakan yang terdengar lebih kencang ketimbang pengeras suara yang digunakan.
Benar, aku membuat surat yang ditujukan pada senior yang bernama Januar. Heh, siapa yang tahu jika mereka berdua adalah sepasang burung pipit. Eh, loh, heh … bukan, maksudnya Kak Januar ini bersahabat dengan Kak Dewa. Bak, kembar siam yang sulit terpisah.
Baru seminggu disini, sudah lemah jantung rasanya terus menerus mendengar teriakan tak ada habisnya. Permasalahannya, selalu aku yang jadi tumpeng, eh, sumber suara keras tersebut ditujukan. Siapa yang tak suka dengan perhatian? Aku! Suka, tapi bukan seperti ini juga maksudnya, Tuhan.
“Tunggu, ada yang denger bunyi retakan gak?” Semua terdiam fokus, begitupun aku.
“Oh, hati Dewangga!” Sorak-sorai makin riuh bergemuruh, sialnya aku sangat tak nyaman saat ini.
Aku menunduk, entah bagian mana yang lucu. Akan tetapi, bukankah jika ini memang lelucon, harusnya aku juga ikut tertawa bersama mereka saat ini? Menulis untuk seorang yang dikagumi atau berkesan selama menjalani kegiatan, tentu saja tak ada salahnya. Namun, jika sudah disangkut pautkan dengan hati, maaf. Sama sekali tak lucu, perasaan tak seharusnya menjadi bahan candaan, ‘kan?
Kertas yang dari tadi kugenggam, lenyap sekejap. Suara kembali hening, Kak Dewa memberi arahan untuk tenang. Dia kemudian melipat surat tadi kemudian berjalan mendekat pada Kak Janu yang berdiri di hadapanku. Kak Dewa memasukkan lipatan surat ke dalam saku kemeja sahabatnya.
“Nu, kamu ambil suratnya aja, ya. Nah, ini aku yang bawa, bye!” Kak Dewa berlalu dengan santai sambil menggandeng tanganku, membawa aku pergi dari pusaran yang tak bisa kusudahi sendiri.
Dia masih terus menempelkan jari telunjuk di depan bibir, senyum tipis juga masih menghiasi wajahnya. Yah, tapi beberapa suara masih terdengar saja. Setelah menjauh dari keramaian, kami berada di ruang kecil di luar aula. Hanya berisi dua senior dengan beragam macam tas dan peralatan untuk games di hari kemarin. Ruangan itu sedikit berantakan.
“Eh, kok malah minggir kesini, kenapa sakit, ya? Kok pucet.” Kak Mita menyapa dengan muka cemas sambil memegang dahiku.
“Wih, keringetan banget kamu, Lana. Diapain sih tadi, rame banget,” imbuhnya.
“Sini dulu, minum ada nggak, Na?” Kak Dewa melepaskan gandengannya dan menyuruhku duduk di salah satu kursi dan meminta air pada temannya, Kak Ratna.
Tak banyak bicara, aku hanya tersenyum sebagai jawaban dan meneguk air putih yang diberikan. Setelah itu, yah, aku tinggal disana. Memilih untuk tak kembali masuk ke aula. Rasanya cemas saat memikirkannya saja.
“Anak-anak emang kadang terlalu banget, sumpah deh. Kasian, jadi sasaran terus loh. Padahal anteng begini anaknya, ya Lana? Cup-cup, disini aja nggak apa-apa.” Kak Mita menepuk-nepuk punggungku.
Eh, anu—butuh waktu untuk mengenalku ya, Kak Mita, sabar.
Ku lihat Kak Dewa juga tak kembali ke dalam. Dia duduk di seberang, sedang diam dan mengamati kami bertiga. Tak lama, aku mulai merasa nyaman kembali. Seumur hidup, baru pertama kali tadi perasaan barusan mampir. Entah apa namanya, yang jelas sangat tidak nyaman. Perasaan malu, marah, sedih dan kesal yang tercampur membuat kepalaku penuh dan berisik.
“Lana, maaf, ya. Gara-gara aku ….”
“Kok jadi gara-gara kakak?” Maaf, nggak sopan menyela.
Tapi, aku nggak suka bikin orang lain ngerasa nggak nyaman juga.
“Kalo nggak ada kakak tadi, udah jadi abu aku disana. Makasih, ya, Kak Dewa.” Aku mengucapkannya setulus mungkin, sambil membubuhkan sedikit sunggingan di wajah.
Pertama kalinya, aku berinteraksi dengan Kak Dewa secara personal. Ku akui, dia punya segala hal yang diperlukan untuk menarik lawan jenisnya. Hingga kepekaan pun, tak usah diragukan lagi. Hhhh … hari ramai yang beruntung masih berakhir damai.
***
Baru saja aku selesai mandi bahkan, rambutpun masih basah saat ini. Dua pasang mata penuh selidik menelisik di balik pintu yang baru saja tertutup.
“Ciyeee!” Suara kompak diiringi cubitan gemas menyerangku tiba-tiba.
“Akh, hoy, wakh! Stop, ahakh!” Aku sebisa mungkin menghindari serangan mereka berdua.
Selepas puas dengan aksinya, kini dimulailah sesi wawancara. Salah sangka dua manusia ini, bisa-bisanya terpikirkan romantisasi di saat seperti ini.
“Nggak, nggak ada! Beneran, sumpah suer, apaan sih. Orang ada Kak Mita ama Kak Ratna juga,” jelasku.
Tak ada, mungkin tak akan ada kisah romansa. Saat ini yang harus dilakukan hanyalah belajar, mendapat nilai bagus, lulus lalu segera pulang. Sebelum banyak orang yang melupakan keberadaan diriku, sebelum terlewat banyak waktu jauh dari semua keluarga, sebelum banyak kenangan tanpa diriku di kota kelahiran sana.
***
Sarapan roti lagi, setelah ini barangkali lidahku fasih berbahasa latin. Aku melanjutkan langkah menuju kelas bersama Puji setelah berpisah dengan Rita di lorong tadi. Lucu sekali, aku melihat sosok dingin itu duduk di sudut sisi kanan paling belakang. Ah, benar juga. Aku terlalu sibuk mendapat hukuman dan fokus pada kelompok sendiri. Tak sempat melihat ke arah lain, maafkan. Jadi, siapa namanya, ya?
“Lana, duduk sini aja, ya?” Puji sudah memilih bangku untuk kami.
Aku membentuk tanda ‘OK’ dengan jari. Melupakan apa yang sedang terbersit sejenak tadi di pikiran. Kembali berkenalan dengan siswa-siswi baru di kelas dan mengobrol. Momen mengejutkan saat ini adalah kelas C merupakan kelas unggulan di antara kelas yang lain. Berisi siswa yang lolos tanpa tes dan menggunakan nilai rapor sama seperti yang kulakukan. Em, lebih tepatnya ibu yang melakukan.
Kupaksakan senyum canggung sambil berteriak ribut dalam hati.
Tersesat dimana aku, malu banget kalau sampai mereka tahu, tentang bagaimana caraku mendapat nilai raporku. Akh! Teriakan yang hanya didengar oleh penghuni langit.
Yah, tentu saja sesuai isi kepalamu. Iya-iya, aku ini hanya manusia biasa yang jauh sekali dari kata sempurna. Jadi, aku melakukannya kemarin dan hari ini aku bahkan, duduk satu bangku dengan si peringkat satu. Apalah aku, peringkat tiga abal-abal. Perpaduan apa ini? Terpampang jelas penghuni surga dan neraka. Ah, tidak!
***
Menurut kamu, Alana melakukan apa sih buat dapetin nilai rapor sebagus itu? Hayo, ngaku yang baca sambil senyam-senyum pasti pelaku juga nih?
Ah, siapa yang nggak ngelakuin tradisi turun-temurun ini? Jago banget sih, asli!
Jangan lupa vote dan komen ya.
Kalian hebat!See you next chapter, guys …
Boleh banget loh follow instagram & tiktok author: @nichi.raitaa
Silakan dm untuk follbacknya, fee free to sharing anything with me lohThank you, Beib 😚
KAMU SEDANG MEMBACA
Secret Face (END)
Teen FictionBagaimana jika ternyata semua keindahan itu hanya sebuah jebakan? Begitu sudah berhati-hati, tetapi seseorang menarik terlalu kencang hingga akhirnya terperosok juga ke dalam. "Hhhh ... katanya, semua yang terjadi di dunia ini tak ada yg kebetulan."...