Bab 25

11 1 3
                                    

POV ALANA

Iya-iya, mungkin bagi kalian. Berpacaran, sambil bergandengan lalu memeluk, mencium dan sebagainya sudah hal wajar untuk di jaman ini. Akan tetapi, aku adalah tipe manusia kuno berkat didikan yang super duper kolot dari ibu sejak awal. Bahkan, untuk mempunyai teman lawan jenis sangat panjang sekali pikiran yang harus ditata. Sederhana saja, hanya tak ingin mereka trauma saat berjumpa dengan beliau berdua. Ayah dan ibu tentu saja.

Kedekatanku dengan kak Dewa sudah cukup mengguncang jiwa, raga, Nusa dan Rara, eh, nyasar kemana ini tadi. Yah, begitulah. Apalagi kak Dewa tipe orang yang tak suka basa-basi sepertinya. Seperti saat ini, aku tak tahu langkah apa yang hendak dilakukan pemuda di depan. Setelah menahan langkah dan kalimatku barusan, kini wajahnya kian dekat.

“Lana, jangan ngomongin cowok lain lagi, pas sama aku ya. Pas sama yang lain juga nggak boleh sih, harusnya.”

“K-kenapa emang, Kak?” Serius, kami ini belum ada status apapun loh, sungguh.

Lagipula Abim juga hanya teman.

“Denger namanya aja, aku udah kesel.” Akhirnya, kak Dewa memundurkan wajahnya.

Tubuhnya tegak kembali dan tak mencondong ke arahku serta mulai melanjutkan langkah. Padahal nama si kulkas cukup bagus loh.

“Aku, nggak harusnya cemburu ya, ‘kan Lana?” Kali ini dia menatap lurus kedepan.

Genggamannya terlepas, terdengar helaan napas dari kak Dewa. Ah, kami sudah sampai di depan kos rupanya.

“Tapi, kenapa aku sakit banget ngeliat kamu peluk dia.”

KABOOM! Bukan peluk, Kak, itu aku lagi. Eh, wait!

“Loh, Kakak, nggak pulang hari sabtu?” Dia menggeleng.

“Kak, tunggu, aku nggak peluk Abim. Itu tuh dia minjemin jaket karena aku nggak bawa, terus aku posisinya lagi ngancingin kemeja dia gitu loh, ya kalo diliat dari belakang mungkin kayak peluk ya, jadinya tuh. Nggak maksud meluk, lagi nih. Motornya mendukung banget, Kak.”

Aduh, Lana. Emang perlu banget kamu menjelaskan sedetail itu? Toh, nggak ngaruh, Wir! Apaan sih, emang kak Dewa peduli gitu? Akan tetapi, netra kecoklatannya sore ini menatap lekat seolah benar sedang memperhatikan dengan sungguh.

“Aku sampai nggak bisa balik ke kos. Milih ke Janu, peluk dia sambil nangis gara-gara kamu.”

ASTAGA KAK DEWA!

“Kak, hmph, hahaha … apa sih, padahal nggak ada apa-apa juga.”

“Lain kali aku yang anter, kamu mau kan, Lana?”

Emang boleh seposesif ini? Secemburu ini? Se-se-se-segemes ini!

“Lagian kenapa nggak nyapa sih, kalo ketemu.” Kak Dewa hening, mungkin baru terbersit di pikirannya.

“Canggung lah, mau aku tarik terus royokan kamu gitu?”

“Duh, siapa yang bakal royokan sih. Cuma aku ini.”

Mentega itu lembut ‘kan? Jika dipanaskan terus bagaimana? Tentu saja meleleh, jadi pilih saja mentega yang cocok dan menyamarlah jadi kompor sepertiku. Jangan lupa pasang gasnya dulu. Hihihihi. Beberapa saat kami akhirnya berpisah, petang mulai datang. Kami melakukan aktivitas selanjutnya.

***

Rita sedang menyisir mahkotanya yang tergerai malam ini. Aku sudah rapi membungkus iri di dalam selimut ketika tiba-tiba saja dia memelukku.

“Napa ni bocah?”

“Mbak, gimana kalo kamu jatuh cinta sama orang yang anggep kamu cuma temen buat dia?”

“Hah? Gimana sih, Rit? Ulang-ulang.” Maklum, kapasitas otak tinggal setengah karena sudah mengantuk.

“Ish, jadi kamu punya temen trus jatuh cinta sama dia, gimana? Tembak nggak?”

“Mati dong!”

“Mbak, serius dong tolong!” Aku tergelak oleh tingkah Rita yang tak terduga malam ini.

Oiya, dia ikut ibu memanggilku dengan panggilan mbak. Katanya, lebih enak di dengar karena memang aku lebih tua darinya. Hanya berbeda bulan sih, tak apa.

“Em, kira-kira ngerusak pertemanan kalian gak? Soalnya, kalo aku pribadi lebih sayang kehilangan temen ato jadi canggung akhirnya gitu. Iya kalo awet, aman, kalo di tengah amit-amit nih terguncang?”

“Dih, baru juga dimulai udah mikir endingnya.”

“Eh, harus itu! Tapi, kalo misal udah nggak tertahan ya boleh aja. Namanya juga suka, cie sapa nih?”

“Ish, ada deh. Nanti juga tau.” Pipi Rita bersemu merah malam ini.

Kami akhirnya terlelap setelah obrolan singkat selanjutnya. Malam begitu sunyi, diam-diam perlahan membawa ke alam mimpi.

Sepertinya baru saja terpejam. Sudah terdengar berisiknya ayam tetangga. Nggak ada keinginan si majikan membuat sate ayam jago begitukah? Selesai berbenah, pagi ini seperti hari biasa bersiap menuju sekolah.

Eh, gantungan berbentuk koala dari kak Dewa. Aku menyimpannya di lemari dan terlupakan sejenak.

“Nah, cakep.” Terpasang di tas juga akhirnya.

Detik jam tak terasa sudah berlalu begitu saja, sungguh kegiatan yang padat membuai diri ini hingga tak menyadari senja kemerahan sudah nampak lagi. Mengerikan, satu hari butuh setidaknya tiga puluh enam jam untuk kami.

“Alana.” Wah, kenal nih sama suara merdunya.

Aku menghentikan langkah dan berbalik ke sumber suara. Benar, kak Dewa sedang berpamitan pada kawan-kawannya kemudian berjalan ke arahku. Jangan ditanya dimana Puji atau Rita, ya? Sudah berjalan dulu sambil cengar-cengir dan berbisik di depan sana. Menggosipkan kami sepertinya.

“Nih, pakai.”

“Hah?” Sedikit linglung aku menerima jaket yang diberikan kak Dewa.

“Dipakai, ya? Eh, ini … lucunya.” Dia menangkap bandul gantungan yang bergoyang di tas dengan senyum yang terkembang penuh.

Membuat matanya menyipit dan tulang pipinya terangkat. Lalu barisan giginya yang rapi juga nampak.

“Kak ini jaketnya?”

“Buat kamu, biar kamu inget terus sama aku.”

Ya, bener sih. Wangi kak Dewa dapat terendus, apa diberikan sehabis dicuci dengan parfum? Lipatannya rapi, seperti habis di setrika, tetapi parfumnya menggelitik hidung.

“Ini abis dicuci kok, tadi mau aku kasihin pagi. Tapi, buru-buru banget. Terus sore ini, aku mau berangkat ke Semarang lagi.” Langkah kami sama terhenti.

Oh, dia mau berangkat lagi, minibus itu rupanya menunggu rombongan mereka toh?

“Hati-hati ya, Lana. Jangan begadang, jangan lupa makan dan satu lagi, tolong sering-sering cek ponselmu buat bales pesanku. Okey?” Puncak kepalaku diusap kasar dengan sengaja hingga berantakan.

Namun, tak ada keluhan justru aku sedang tersenyum padanya.

“Semangat ya, Kak Dewa, semoga sukses! Ah, ini kalo gitu.”

“Apa ini?” Dia memandang bintang kecil yang terbuat dari kertas berada di tangannya.

“Jimat.” Netra kami saling bertemu, detik berikutnya tubuhnya condong ke arahku hingga mengadu kening kami.

Terkikik dia mendengar tuturku, kemudian kami berpisah. Senyum hangatnya membekas, lambaian tanganku mengantarkannya pergi sore ini. Aku bergegas kembali melanjutkan perjalan ke kosan. Hah … minggu sepi, tanpa Kak Dewa, dimulai lagi.

***

Kening yang diadu, tapi hati yang gaduh ya? Lana~

See you next chapter soon🔥

Secret Face (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang