Hi, ketemu lagi nih ama Nichi~
Jangan lupa tinggalin jejak kalian ya, satu vote dan komen kalian berarti banget buatku lohhh 🤧Thank you, Darl 💕😚
Hope you guys enjoy 💜***
Manusia adalah makhluk sosial, dia tak bisa hidup tanpa orang lain. Namun, dia juga terkadang tak mengijinkan orang lain masuk dalam hidupnya. Rumit.
***
Aku benar-benar menata mental untuk siap bertarung di sekolah ini. Mana bisa dibiarkan, masuk peringkat tiga di atas kemudian merosot ke peringkat bawah? Sayangnya hanya satu, aku tak se-ambis itu. Tolong! Siapapun yakinkan aku tak terperosok dalam keputusan yang ku buat sendiri.
Dijelaskan, pada bulan pertama ini kami hanya akan menerima teori tanpa praktikum. Selanjutnya, kami akan menjalani kelas teori di pagi hari dan kelas praktikum selepas jam istirahat. Wah, menarik. Aku tak sabar ingin mengetahui praktikum seperti apa yang ada di sekolah Analis Kesehatan ini.
***
POV : ABIMANTARA
Pagi ini aku melihatnya lagi, seperti biasa. Gaduh. Gadis unik yang sangat menarik bahkan, saat awal jumpa pun dia sudah terlihat berbeda. Di antara sekian banyak calon siswa baru yang mengenakan sepatu berwarna hitam. Dia dengan santai melenggang tanpa bersalah dengan sepatu putihnya. Apa-apaan, dikira sekolah ini milik nenek moyangnya. Eh, mana tahu, ‘kan? Aku bahkan, tidak mengenalnya.
Setelahnya, kami malah berjumpa di ruang pengambilan spesimen kala itu. Ajaib, dia membuat antrian memanjang dan beberapa orang mengomel. Terpaksa ku sodorkan lengan berharap agar drama yang dimulainya segera berakhir dan aku bisa lekas pulang juga. Siapa sangka, dia memilih mencakar ketimbang menggigit. Yah, itu memang lebih baik tapi … lihat!
“Hhhh ….” Helaan nafas terdengar, sambil ku usap bekas luka yang masih memutih di lengan kiri.
Sejurus kemudian ada tangan yang menjulur di depanku. Sedikit berjingkat lalu beralih menatap si pemilik tangan.
“Hai, kita sekelas rupanya, Alana, ah … panggil Lana aja sih, kamu siapa?” Suaranya sangat ceria, cerah seperti wajahnya.
“Abim,” jawabku singkat sambil beringsut pergi meninggalkan Lana.
Jujur, aku tak tahan melihatnya. Baru sekali aku merasa iri pada seseorang, gadis ini terlihat berseri sejak awal. Bahkan, seolah galaxy berputar mengelilinginya. Sangat mudah untuknya mendapat perhatian dari berbagai penjuru dengan gaya khasnya yang memang terkesan centil dan jenaka. Anak yang tumbuh penuh cinta memang berbeda.
Ah, aku lupa tak menyambut tangannya.
Terlanjur, aku sudah berada diluar kelas. Tak mungkin tiba-tiba datang kembali pada Alana, bukan? Lanjut saja, toh tak ada pengaruhnya. Aku adalah si peringkat dua, kebetulan sekali Alana ada di peringkat tiga dan duduk satu bangku dengan si peringkat satu, Puji. Em, ku rasa kami akan berebut kursi setelah ini.
“Tentu saja, tak akan semudah itu, Nona.” Monolog aku sendirian sambil duduk menikmati gorengan.
Tak lama kemudian Haris menyusul ke kantin. Dia mengambil duduk di sebelah setelah memesan minuman. Sedang enaknya mengunyah bakwan, pukulan kerasnya mampir ke punggungku. Selamat tak tersedak, sudah mendarat di lambung dengan aman bakwan yang ku kunyah tadi.
“Heh, kok nggak sopan amat cuk. Lana ngomel-ngomel loh tadi.”
“Ck, gitu doang.”
“Yeu, cewek favoritnya Kak Dewa loh, bor ….”
Oh, iya, lupa. Gadis dari luar provinsi itu bahkan, menjadi satu-satunya yang berhasil menarik minat seorang Dewangga. Salah satu siswa berprestasi yang tak pernah menurunkan tahtanya kepada siapapun selama berada di sini. Hebat, selanjutnya siapa lagi? Orang yang akan dibuatnya jatuh hati?
Ku lanjutkan aktivitas dan kembali ke kelas tepat saat bel berbunyi. Hari ini hanya berisi pengenalan awal di kelas teori, bekal ilmu untuk menghadapi praktikum nanti di bulan selanjutnya. Namun, bukan sekolah unggulan jika kami pulang tanpa tugas. Aku telah menyusun rapi jadwal. Ku perhatikan Alana dari jauh, dia sibuk mencatat juga sepertinya. Gadis itu serius, hendak mengibarkan bendera perang.
***
POV : ALANA
Astaga, siapa yang bertugas memutar jarum jam hari ini? Lambat sekali waktu berlalu, ditambah ternyata jam pelajaran usai di pukul tiga sore. Sekolah apa ini, Ibu? Banyak sekali tugas yang harus dikerjakan dengan tulis tangan padahal baru hari pertama dan hanya dari satu mata pelajaran saja, bisa jadi penyair setelah mengarang bebas demi menyelesaikan tugas barusan. Aku tak ada ide, buntu. Sama sekali asing dengan semua istilah baru ini.
“Puji, kamu mudheng, apa mubeng?” tanyaku sambil menatap lurus peringkat satu di sampingku.
Kami sedang berjalan beriringan hendak pulang.
“Dikit, perlu contoh sih emang. Gimana, ya? Nggak begitu kebayang,” sahut Puji.
Buset, harus gimana dong yang peringkat satu aja ngang-ngong. Mohon maaf, apalagi saya yang jagoan ini. Yah, iya-iya ngaku. Jago nyont3k, eh sorry disensor. Kata-kata berbahaya, takut ditiru sama adik-adik yang lain. Ceilah, sok tua banget!
“Emang, harus minjem buku ke kakak kelas gitu pas awal-awal.” Suara yang tak asing, tiba-tiba ikut nimbrung.
Sontak aku dan Puji menengok ke sumber suara. Siapa yang menyangka, Kak Dewa dengan senyum pemikatnya menyodorkan buku pada kami.
“Kak, astaga copot jantungku.” Aku benar-benar sangat terkejut, spontan memukul si buku yang menggantung di udara pelan.
“Eh, nggak diterima nih? Yaudah, kasih pinjem yang lain ah.”
“Hei, hei, hei, Kak!” pekikku.
Kembali dia menyodorkan buku tadi. Tentu saja, wajahnya berhias senyum menggoda. Satu kerlingan mendarat lagi di wajahku setelah menerima si buku. Tak menunggu lama, Kak Dewa melenggang meninggalkan kami yang masih bergeming di tempat tanpa suara. Hingga Puji menyenggol lengan dan membawa kesadaran kembali.
“M-makasih, Kak, besok aku balikin, ya.” Aku sedikit berteriak.
Siswa jangkung itu tak berpaling, dia hanya melambaikan tangan padaku. Apa nggak salah? Yang benar saja, dia tadi tidak sedang menunggu kami pulang bukan? Ini hanya kebetulan saja. Eh, tapi tunggu! Jika kebetulan, kenapa pula dia membawa buku yang berisi materi di awal pertemuan sekolah ini dimulai. Aduh, aku laper! Em … hihihi.
Cekikikan aku dan Puji sepanjang jalan. Seperti menemukan harta karun sebesar gunung, beruntung ada yang baik pada kami hari ini. Mungkin saja, do’a ibu sedang dikabulkan satu per satu, yah siapa tahu? Tuhan sedang senang dan bersedia mengabulkan antrian yang memanjang di daftar catatan-Nya. Kami segera berbenah dan menuntaskan panggilan perut sebelum memulai tugas malam ini.
“MasyaAllah,” ucap Puji.
“Puji, kamu nggak salah bilang barusan? Harusnya—”
“Heh, namanya juga manusia, udah untung dikasih pinjem loh ini,” sahut Rita memotong kalimatku.
***
note!
mudeng : mengerti
mubeng : berputar/tak mengerti
***
Coba tebak, kenapa Alana bilang Puji salah nyebut? Kenapa sih emangnya, penasaran ama yang lagi di hadapin ama tiga gadis di sana?
Lanjutin baca yaa ....
See you next chapter, guys …Boleh banget loh follow instagram & tiktok author: @nichi.raitaa
Silakan dm untuk follbacknya, feel free to sharing anything with me lohThank you, Beib 💕
KAMU SEDANG MEMBACA
Secret Face (END)
Подростковая литератураBagaimana jika ternyata semua keindahan itu hanya sebuah jebakan? Begitu sudah berhati-hati, tetapi seseorang menarik terlalu kencang hingga akhirnya terperosok juga ke dalam. "Hhhh ... katanya, semua yang terjadi di dunia ini tak ada yg kebetulan."...