MASIH POV ABIM
Pagi ini aku berangkat bersama Haris, tentu saja. Saat melangkah kedalam, sudah ramai saja seisi kelas bersorak padaku. Sedikit linglung sibuk menerka, apa yang sebenarnya terjadi.
“Aduh, siap saingan ama kak Dewa nih, Bim?”
Hah? Gimana?
“Hish, berisik aku geplakin satu-satu nih.” Suara Lana terkesan tegas kali ini, berbeda tak seperti biasanya.
Barangkali dia sudah mulai terusik sejak tadi. Tak menjawab sapaan barusan, sedang kutatap saja hingga mereka diam. Tak perlu waktu lama, kelas segera hening dan aku melangkah ke arah bangku berada. Setidaknya, hanya satu suara yang berani mengusik ketentraman seperti biasa, Haris pelakunya.
“Tetep aku dukung kamu kok, Cuk. Good luck!”
Satu orang ini tak mempan lagi, entah hingga bentakan pun tak menggoyahkan hatinya. Anak kupret, sialan! Sudah mati rasa padaku sepertinya ya. Alana tak menengok, hingga jam pelajaran usai hari ini tak ada obrolan di antara kami. Eh, tapi memang biasanya seperti itu sih.
Di saat seperti ini, satu hal yang sedikit sulit. Motor masih setia berada di dalam pagar kos Alana. Yak, harus diambil hari ini. Takut mengganggu, memenuhi tempat parkir. Ah, itu dia masih berjalan santai di lorong, belum jauh. Langkah jenjangku segera menyusul.
“Heh, mo ambil motor.” Aku mencolek sedikit bahu gadis mungil itu.
Somplak! rutuk hatiku.
Nggak terlihat, luput sedikit. Ternyata kak Dewa menunggu di bawah tangga. Sedang menatap tajam, kearahku. Wassalam! Akan tetapi, sudah terlanjur bilang barusan dan motorku memang harus diambil.
Kami akhirnya berjalan berempat, iya. Puji, aku, Alana dan kak Dewa, beriringan. Hening, senyap, tanpa suara. Sekilas terlihat tangan kak Dewa tertaut dengan jemari mungil Alana. Em, aku juga sempat menggenggamnya. Akh! Aku kenapa sih!
Setelah sampai, segera kuambil motor yang berada di halaman parkir. Kemudian membawa keluar secepat mungkin. Pengap, jujur.
“Makasih ya, aku pulang dulu. Mari, Kak.”
“Ati-ati ya, Bim.” Suara Alana terdengar. Aku mengangguk singkat kemudian berlalu.
Boro-boro mau saingan ya, ‘kan? Udah minder baru juga jalan bareng, eh, tapi memang siapa yang mau saingan sih? Aduh, Abim, kacau! Siapa sih yang bikin perbandingan. Jelas, kalah jauh. Eh, otak sialan!
***
POV ALANA IS BACK
Bagus, malah dua orang yang kerap mengusik ketentraman hati bertemu sore ini. Kak Dewa tak melepaskan genggamannya sejak tadi, Puji sudah melesak ke dalam terlebih dahulu. Atmosfer mendadak sesak diantara kami, padahal tak ada apapun yang terjadi. Tatapan menuntut yang kini mengurungku.
“Eng, i-ini mau gandeng sampai kapan, Kak?”
“Kok motornya disitu?”
“Ah, iya.” Aku menggaruk kepala sedikit canggung.
Akhirnya ku jelaskan mengapa sampai si motor menginap. Kak Dewa melepaskan kaitan tangannya kemudian. Kami berpisah dan melanjutkan aktivitas seperti biasa. Sesuatu terasa mengganjal, meski sudah berusaha kutepis. Walau sudah kuyakinkan berulang kali juga. Tak mengerti lagi, sebenarnya sedang apa aku dan kak Dewa ini? Hubungan apa yang sedang kami jalani?
Saat berpisah tadi, raut wajahnya masih tak berubah. Mungkin kesal atau itu yang disebut cemburu? Hish, entahlah. Yang penting aku sudah menjelaskan dengan jujur tanpa menutupi apapun.
“Wey, jangan dilempar ntar rusak nangis!” Aku menghindar dari hantaman ponsel terbang Rita barusan.
“Duh, kena gak, Lan? Sorry, lagian tetiba masuk.”
“Napa sih?”
“Kesel aja, gak ngerti apa aku tuh kangen banget. Giliran dibela-belain ketemu sekarang malah dia cuek banget.”
Ah, pasti teman masa kecilnya yang dimaksud oleh Rita barusan, bisik hatiku.
Dia mengisahkannya dengan singkat dan padat beberapa waktu yang lalu. Mereka ini—Rita dan teman masa kecilnya—tumbuh bersama sejak balita. Bahkan, keluarga mereka cukup dekat kala itu. Jarak rumahnya pun tak begitu jauh, sehingga mereka kerap bermain bersama. Keduanya hampir seumuran dan sama anak tunggalnya. Ketika orang tua Rita sibuk, biasanya gadis kecil itu dititipkan pada keluarga si teman hingga menginap bersama.
Begitupun sebaliknya, tetapi semua berakhir saat Rita harus pindah keluar kota. Mengikuti tempat dinas sang ayah. Mereka akhirnya terpisah, bertahun-tahun tak berjumpa. Akhirnya Rita berhasil bertemu kembali dengan si teman karena bersekolah di kota ini juga. Sayang sekali, si teman kerap kali mengabaikan Rita.Kenapa dia tak merindukan balik si sahabat kecil ini, ya? Sedikit menyebalkan, tetapi mungkin dia juga sedang sibuk. Atau memang ya, orangnya nggak asik.
“Sabar, sabar … kali aja emang sibuk dia, Rit.”
“Serius, jam segini?”
“I-iya juga sih, sibuk mo tidur. Kayak aku, hahahaha.”
“Ish, kamu mah sok sibuk, Lan.”
“Tapi, aku penasaran deh, Rit. Kamu jadi kesini sengaja nyusul dia apa gimana?” Rita mengangguk.
Super sekali, teman sekamarku. Dia sengaja memisahkan diri dari keluarganya demi si teman. Bersekolah hingga luar provinsi ditempuhnya juga. Astaga, Rita! Sepertinya aku tak bisa mengimbngi kegigihan cewek satu ini. Jika jadi dia, pasti sudah mengibarkan bendera putih. Apalagi terus diabaikan begini, jika berlanjut mengabaikan seperti tadi. Akan kulenyapkan sekalian bocahnya. Hahahahahahaha, bar-bar sekali mohon maaf.
Obrolan malam ini hanya seputar rindu yang tak kunjung terbalas, kemudian kami sama-sama tertidur hingga fajar mulai menyingsing. Meski kelopak mata masih setengah mengatup, aku harus segera bersiap memulai hari sebelum antrian kamar mandi memanjang. Perjuangan anak kost, berebut jam mandi. Hingga terkadang, sengaja menempel kertas dan mencatat nama agar tak terselip antrian berikutnya. Luar biasa!
Semester baru, kelas baru, masih berharap dapat peringkat baru. Kak Dewa memegang amanat penuh dari kedua orang tuaku. Dia juga sekarang full berada di sekolah. Sudah kelas dua belas, memutuskan untuk fokus belajar persiapan ujian sangat perlu. Sekalian mengawasiku, akh!
Aku menggaruk kepala dengan ujung pulpen saking gatalnya. Sedang berusaha mencerna rumus barusan, kenapa belum terpecahkan juga. Padahal dulu matematika tak sesulit ini. Ah, ini bukan tentang matematika. Rumus apa yang sedang berada di depan ini?
“Kalo salah hitung, nanti meledak loh.”
“Hah?” sedikit memekik, maaf, kelepasan.
Kak Dewa sedang memasang jari telunjuk di depan bibir mungilku, sambil mengerucutkan bibirnya. Aduh, kok lucu.
“Kak yang bener aja kalo ngomong, jangan nakut-nakutin!” cubitan ringan mendarat di lengannya.
Pemuda berjaket biru itu terkikik pelan sambil menepuk-nepuk pahanya sendiri. Dikira badut apa gimana? Aku serius tahu!
“Enggak, nggak ampe meledak banget sih. Tapi tetesan sekecil itu pengaruh banget di reaksi kimia yang lagi kamu hitung ini. Jadi, yang teliti ya.”
“Puyeng, pas ditetesin harus banget diliat bener-bener perubahan warnanya. Pas udah dapet ukuran mili-nya masih kudu dihitung lagi masuk ke rumus. Boleh jadi suster aja nggak?”
“Mana bisa?”
“Kan tinggal ngesot doang dia, Kak.”
“Astaga, Alana, kamu tuh—” Kalimat Kak Dewa terputus, dia sedang menunduk dengan bahu terguncang, “serius dikit dong, Lan,” sambungnya.
Aduh, gimana kalau serius takut banget loh. Takut dibawa ke pelaminan, eh, maap. Salah fokus lagi ya ini? Hadeh, hadeh ….
***
Kalo manis-manis mulu interaksinya bakalan disemutin nggak, sih?
See you next chapter 🥰
KAMU SEDANG MEMBACA
Secret Face (END)
Roman pour AdolescentsBagaimana jika ternyata semua keindahan itu hanya sebuah jebakan? Begitu sudah berhati-hati, tetapi seseorang menarik terlalu kencang hingga akhirnya terperosok juga ke dalam. "Hhhh ... katanya, semua yang terjadi di dunia ini tak ada yg kebetulan."...