Epilog

8 0 0
                                    

Bagaimana cara bumi terus berputar pada poros yang sama? Terkadang aku iri pada bulan yang terus setia mengejar sang mentari. Meski terdengar tak mungkin gelap yang akan bertemu terang. Namun, Tuhan membuat keindahan dari senja yang menyatukan mereka sesaat. Tak cukup lama, tetapi cukup menemukan rindu satu sama lain. Semua terlihat setia dengan tempat dan perang masing-masing. Sedangkan, aku di sini masih duduk termangu sendirian dan mencoba menemukan kembali tujuan hidup lanjutan.

Tak ada yang bilang padaku, jika waktu bergulir begitu cepat ketika kita sedang sibuk. Musim bahkan entah sudah berapa kali berganti tanpa ku sadari. Bolehkah sedikit mengenang tentang dia? Terakhir aku menerima kotak kecil berwarna merah muda dari seseorang. Kemudian tak terdengar lagi segala kabar berita setelah menyatakan jika si pemuda tengah berada di luar kota. Kenangan itu hari ini resmi kukenakan, hanya ingin menunjukkan. Bahwa, mungkin saja dia akan bangga jika bisa melihatku sekarang. Tanpa sadar, aku memandang jemari sendiri dan bergumam lirih.

“Tugasku selesai, bagaimana denganmu? Aku sudah belajar, lalu datang, kerjakan dan lupakan. Seperti yang selalu kamu bilang.” Sungguh, aku sedang tersenyum saat ini.

Menatap sosok gadis di depan cermin dengan toga. Kebaya berwarna merah berada di baliknya, hiasan telinga senada dan sedang membelai lembut bandul kalung yang sedang melingkar di leher.

“Alana, ayo!” Ibu menyadarkan lamunan sesaat tadi dan menuju gedung tempat wisuda digelar.

Benar, kelulusan tingkat akhir sudah di depan mata. Degup jantung tak bisa kuredakan begitu saja. Apalagi ketika nama telah diserukan, ayah dan ibu mengapit diriku. Piagam dan piala diserahkan kemudian selempang wisuda juga disematkan. CUMLAUDE.

Hai, aku berhasil membuktikan jika aku mampu, aku berharap kamu juga begitu, bisik hati lirih tentu air mengaburkan pandangan.

Setetes air mata lolos begitu saja. Namun, aku yakin bukan sedih yang sedang terasa. Entah bagaimana akan disebut. Semua rasa di kepala bercampur tanpa bisa kujelaskan. Masih berusaha mencari sosok yang tak mungkin di sekitar ketika acara telah usai.

“Alana.” Suara seseorang membuat kepala menengok cepat.

Ah, jangan tersenyum begitu, sial, batinku sambil memandang dia mendekat.

“Selamat, ya. Kamu hebat, Alana Widjaja.” Suara dalam menentramkan, sedang mengusap puncak kepala dan menyerahkan seikat buket bunga.

“Wohoo, traktiran!” Tentu suara rusuh Haris.

“Ish, gak liat momen apa!” Puji menjitak pelan kepala Haris gemas.

“Alanaku, selamat ya.” Rita memeluk dari samping sambil bergoyang pelan, memaksa tubuh mengikuti irama si gadis ayu.

Kami tertawa bersama, bertukar cerita sejenak. Sebelum akhirnya memilih berpisah. Kali ini, benar-benar pergi untuk melanjutkan hidup masing-masing. Berjuang demi hari esok yang lebih cerah, semoga saja. Berharap waktu dapat menyatukan kembali rindu yang hendak kami pupuk bersama.

Rita menyambut jemari kokoh yang kini menggenggamnya erat. Sebelum berlalu, Kak Janu menyempatkan diri tersenyum hangat. Semua orang tumbuh dan menempati peran di kehidupan. Puji juga berlalu bersama Haris di sebelah, saling mencubit dan menggoda seperti biasa, tak pernah rukun. Sama saja seperti pemuda di sebelahku ini. Masih bergeming, tak beranjak. Akan tetapi, selalu saja membuat ribut isi kepala.

Namun, siapa lagi jika bukan dia yang setia menemani sejak awal mula? Jika bukan karena insiden antrian memanjang, aku tak akan mengenal Abim. Dia masih tak bersuara, sedang memperhatikan dari sisi samping. Kami sedang duduk berdua, di depan ruang acara yang hampir kosong.

“Gimana rumah?” tanyaku basa-basi.

“Hampir selesai. Kemana abis ini, Lan?” Abim mengalihkan pandangan lurus kedepan.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 30 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Secret Face (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang