Just enjoy please 💕
***
Entah mengapa di saat terdesak, keberanian justru makin menguat. Aku melangkah gontai menuju kosan. Iya, tak salah baca kok. Tadi, aku memutuskan untuk naik ke dalam bus jurusan kota Solo dengan uang pas-pasan. Beruntung kondektur bus berbaik hati merubah rute sedikit dan menurunkanku di gerbang sekolah. Karena tak muat si bus masuk ke gang kos. Beruntung lagi cuaca tak semendung hatiku. Langit biru bercampur kemerahan sore ini sedang menemani langkah kaki yang terus berayun."A-Alana?" Suara yang tak asing membuat kepalaku mendongak akhirnya.
Sosok pemuda sedang membawa kardus kosong dan sapu di tangan kanannya membeku bersama. Bergeming sejenak di tempat masing-masing. Seolah tak percaya pada yang terlihat di depan.
"Beneran Alana, kamu ngap-" Kalimat kak Dewa menggantung, aku lekas menyambar tubuhnya.
Bingung juga, kak Dewa sepertinya punya magnet yang berlawanan denganku. Kerap kali mendadak tertarik padanya. Yah, alasan saja. Aku sudah tak kuat menahan rembesan air mata yang terus mendesak ingin keluar. Tak ada suara yang terdengar selain isakan kecil dengan bahu yang sedikit terguncang. Sebisa mungkin suara tangis kutahan.
"Ah, Alana, cup, cup ... nggak apa-apa, aku disini." Tentram ya? Memang!
Siapa yang bisa menolaknya, akh tidak! Aku sudah tak waras.
Beberapa saat kemudian pelukanku melonggar, sempat bertukar tatap sejenak. Setelah kak Dewa selesai berbenah, dia kembali menemuiku yang duduk termangu menatap langit senja ini di bangku kosnya. Iya, aku sedang kabur. Tak ada sama sekali yang ku bawa, kunci kos sendiri pun tak punya. Ponsel tak ada, uang apalagi. Nekat! Jika tak beruntung bertemu kak Dewa, entah bagaimana nasib malam nanti.
Tetap ada ruginya kali ini, segala yang gelap memang selalu bersanding dengan terang meski tak menyatu juga. Mereka ini tetap saja saling jumpa. Ruginya adalah aku harus menjelaskan sedang apa aku disini seorang diri seperti sekarang. Agak berat aku mengisahkannya. Jujur, tak begitu menyukai kisah pedih yang sedang berlangsung. Lebih senang dikenali sebagai sosok Alana yang ceria ketimbang menderita begini. Akan tetapi, setidaknya bercerita ternyata sedikit meringankan sesak di dada. Seusai menutup kalimat panjang tadi, kak Dewa masih hening menelisik wajah sembabku.
"Sama aja kayak kamu, Alana, orang tuamu juga butuh penyesuaian." Kalimat kak Dewa terkesan selalu saja menentramkan.
Namun, kali ini aku tak begitu suka mendengarnya. Raut wajah tak kunjung mendapat sinar.
"Nih ya, udah aku bilang kalo peringkat tuh nggak penting soalnya yang jadi patokan jumlah nilai. Selama jumlah nilainya cukup, nggak remedial ya, 'kan? Nggak ngulang praktikum di semester depan, ya 'kan? Nah, kenapa nggak duduk jelasin pelan-pelan? Biar nggak berantem?"
"Mana mau didenger."
"Soalnya kamu juga nggak mau dengerin, sih."
"Udah kok. Aku udah denger."
"Mana? Buktinya, sekarang kamu disini, kabur, nggak punya tempat tinggal, sendirian, kalut." Malah senyum sih ini orang kok ngeselin.
"Lana, iya-nya mana?" Suara kak Dewa terdengar sangat halus.
Netra mengerjap-ngerjap sesaat, aku teringat pesan ayah sebelum perang tadi dimulai. Ah, sial, ternyata ini maksudnya! Kami bersitatap lagi.
"Sampai sini kamu sekarang paham? Kalo teriakan itu sama sekali nggak efektif, yang ada makin runyam, kacau semua." Aku bergeming, sekali lagi bibirku mencebik.
"Alana, hayuklah kalo gitu." Kak Dewa mengulurkan tangannya padaku.
"Hah, kemana, Kak?"
"Ikut aku pulanglah, kamu mau disini sendirian nggak ada temen, bu kos juga lagi liburan kayaknya tutup tuh." Aduh, benar juga.
"Bentar, kak Dewa tadi ngapain disini memang?"
"Oh, aku abis main ke pantai kemarin sama Janu karena kemaleman, nginep kosan dulu sekalian beberes trus mau pulang, eh malah ketemu kamu." Wah, seru banget ke pantai woy, nah teralihkan!
"Ngomong-ngomong, tadi aku sempet kaget. Mikir gini, kangen kayak gimana aku kok sampe ngeliat kamu jalan di depan. Sampe aku kira cuma jadi-jadian gitu loh."
Terdengar hembusan napas beratnya. Kemudian beralih menatapku dengan senyum mengejek khasnya.
"Kak Dewa!" tentu saja dia panen pukulan gemas.
Sudah, saat bersantai tlah usai karena setelah itu aku kalah dan menurut ikut pulang ke rumah kak Dewa. Lebih tepatnya tak ada pilihan lain lagi. Sepanjang jalan kak Dewa bercerita tentang mamanya-Lestari, tak lupa papanya yang super sibuk, tetapi selalu menyempatkan waktu luangnya untuk keluarga-Gito. Family man, pantas saja kak Dewa tumbuh sebaik ini. Keluarga utuh yang baru mendengar saja membuatku iri hingga level maksimal.
Aku tak bilang jika ibuku-Nanik dan ayah sambungku-Krisna bukan orang baik. Hanya saja, mereka masih kerap kali terlihat beradu argumen di depan kami. Ya, namanya menyatukan dua kepala memanglah tak mudah. Untuk ibu dan aku yang selaku sedarah pun begitu susah, apalagi yang sudah dididik berbeda asal. Untuk menghabiskan waktu bersama pun bisa dihitung jari, berkumpul saat makan malam saja dalam waktu singkat. Sebab setelahnya kami harus beristirahat masing-masing untuk memulai lagi hari esok. Setiap hari ibu tak punya hari libur, pergi ke toko dan pulang saat sore bahkan, petang. Ya, begitulah.
Sesaat kemudian motor kak Dewa memelan dan memasuki halaman asri yang cukup luas bagiku yang terbiasa tinggal di perumahan. Kampung beneran memang debest! Sejuk, angin sepoi segera menerpa wajahku. Angin malam, brrr, dingin!
"Kak." Aku menarik dan menahan langkah.
I-ini kok enteng banget digandeng sih! Mau nyebrang apa gimana? Mau minta do'a restukah? Eh! berisik sekali batinanku.
"Lepas ini loh."
"Lah, kenapa sih? Ma, Pa, Dewa pulang ... bawa oleh-oleh."
Yak, pukulan pelan yang kulayangkan bertubi-tubi tetap tak berhasil menahan langkah kak Dewa. Cekalan tangannya juga tak melonggar, sakit. Dia mengitari rumah dan tak menemukan orang tuanya. Kami kembali ke depan, tetap saja senyap tak ada suara. Aku yang semula panik hendak bertemu mereka mendadak hening. Ikut sibuk menelisik rumah bercat putih ini. Terpajang satu foto dengan pigura besar, kak Dewa anak tunggal rupanya.
"Lana, duduk sini dulu ya. Aku cari orang tuaku dulu, keselip dimana lagi aja ini pada?" Lah, kok jadi komedi kak Dewa pas dirumah begini?
Aku hanya mengangguk dan duduk setenang mungkin di sofa ruang tamu. Mataku tak lepas dari punggung kak Dewa yang kemudian segera berlalu. Sialan, terasa seperti apa ini? Duduk sendirian dirumah orang yang belum pernah sekali saja kujumpai si pemiliknya. Baru saja hendak bersandar punggung ini, pendengaran menangkap suara dari arah belakang.
Huwa, tolong, apapun boleh asal jangan manusia dulu, soalnya lebih takut ketemu manusia ketimbang setan sungguh! Misalnya tiba-tiba muncul minjem uang, aduh! terus saja aku berbisik dalam hati sambil melangkah perlahan.
"Huwa!"
***
HEHEHEHHEHEHEHE
Lumayan, jadi bisa sedikit bernapas dan bercerita kali ini, semoga kalian suka yaa ...
Oiya, Nichi mau mengucapkan selamat hari Raya Idul Fitri buat temen² yg merayakan, mohon maaf lahir batin yagesyaa 💕
Di mulai dari Nol lagi nih 😚Sekalian mau ngasih note, mungkin ngga up selama beberapa waktu kedepan nih, maybe next week ud balik aktif lagi nerusin Alana 🫣 ... see you next chapter yaa, sehat selalu wankawaaaan 💋
KAMU SEDANG MEMBACA
Secret Face (END)
Teen FictionBagaimana jika ternyata semua keindahan itu hanya sebuah jebakan? Begitu sudah berhati-hati, tetapi seseorang menarik terlalu kencang hingga akhirnya terperosok juga ke dalam. "Hhhh ... katanya, semua yang terjadi di dunia ini tak ada yg kebetulan."...