Bab 11

10 2 0
                                    

Hello, gloomy Saturday
But always hope be a better than yesterday~

Sehat selalu kalian, jangan lupa vote dan komennya yaaaa~

Enjoy yall💕

***

Manusia tak akan pernah terbiasa dengan luka. Hanya saja, dia sangat pandai menyembunyikan rasa, biasanya demikian.

***

POV ALANA

Siapa yang tak suka hawa sejuk? Aku pun menyukainya, hanya saja sosok satu ini kelewat sejuk hingga membuat bulu kuduk meremang saat berinteraksi dengannya. Tentu saja, gadis mana yang tak terjerat oleh daya pikat seorang lelaki rupawan minus kelakuan, eh, maksudnya misterius ini. Sangat jarang terdengar suara Abim di sekitar kami. Bahkan, sempat aku berpikir dia anti-sosial.

Bayangkan saja, hening dan bergeming di tempatnya disaat semua orang sedang ramai saat jam kosong. Dia biasa memasang earphone-nya yang berwarna putih dan memilih menyembunyikan wajah di balik sekapan tangannya di meja. Sampai ujian tengah semester hendak digelar pun, dia tetap setenang itu. Kabarku? Baik, sangat baik. Ibu kos menyiapkan sarapan pagi khusus agar tubuhku tak ambruk lagi.

Tentang pengambilan darah dan sejenisnya juga perlahan aku mulai terbiasa. Seperti kata Puji, lama kelamaan akan biasa saja. Yah, tentu tak mudah. Aku berbohong jika bilang tak apa dan baik-baik saja. Yang namanya terluka itu, ya, pastinya sakit dong. Hanya saja, tiap tusukan yang diterima makin lama semakin biasa saja. Entah, bagian yang berubah. Apakah jarum ataukah perasaanku yang semakin tumpul?

Oke, serius. Kali ini aku sedikit risih, hampir tiap hari telinga mendengar nama Abim diserukan dari berbagai sudut kelas. Ya, iyalah, orang sekelas pasti dong ngedenger. Tapi, yang jadi masalah adalah … sifat ketus si pemilik nama dan nada sumbang yang kerap kali memanggil namanya dengan manja. Seperti siang ini, ada adegan telenovela, saksikan.

“Abim, tunggu dulu dong,” pinta Tika sambil menggenggam lengan Abim di depanku.

Bayangkan, aku seperti tersihir dan duduk lagi di kursi bersama Puji. Sayang sekali FTV gratis di depan ini.

“Apa sih, Tik. Udah ah, mau makan laper.”

“Eh, aku traktir, yuk.”

“YUK!” sahutku berbarengan dengan Puji, tentu saja sontak dua kepala yang lain memandang kami.

“Tuh, ama mereka aja. Dah!” Abim melepaskan cekalan Tika dan meninggalkan kelas.

“Yuk, Tik,” ajakku.

“Ih, kalian ini nggak peka banget sih, kesel.” Tika malahan meninggalkan kelas juga dengan kaki yang menghentak-hentak.

Serius, aku tak paham. Mereka sangat suka mengusik si kulkas delapan pintu itu. Maaf, kalau cuma dua pintu kurang adem soalnya. Meski bibir dibilang begitu pun, tetap saja banyak penggemarnya.

“Tapi, si Abim nanyain kamu loh, Lan,” kalimat Puji sukses membuatku tersedak.

“Kalem, kalem … baru gitu udah mengkaget aja, tenang.” Rita menepuk-nepuk punggungku sambil menyodorkan segelas es teh.

“Nanyain apaan emang?”

“Pas kamu sakit, dia yang nanyain kamu pertama kali loh,” jelas Puji, “dia juga yang pertama kali mau angkat kamu pas pingsan di ruang praktikum waktu itu, harusnya. Tapi, diserobot ama Kak Dewa, akhirnya.”

Netraku mengerjap berulang kali tak begitu mengerti. Sungguh, aku baru mendengarnya. Si ketus yang tak menyambut tangan bahkan, tak pernah memanggil namaku dengan benar ini melakukannya?

“Heh, nih ngumpulin tugas.”

“Heh, heh … dipanggil Pak Antok, sana ke ruang guru.”

“Heh, tuh pulpen jatoh.”

“Heh, iket rambut dulu, mau kebakar pake spirtus entar?”

“Heh ….”

Lanjut, sekian banyak ‘Heh’ datang sebagai ganti namaku. Jangan! Jangan tanya seberapa sering mengingatkan jika aku punya nama padanya! Sudah sampai lelah hayati dan pasrah. Rasanya aku punya dosa di masa lalu pada orang satu ini hingga menimbulkan dendam yang mendarah daging padanya. Hhhh … capek!

“Dor!”

“Astaga, astaga, Kak Dewa.” Udah beneran pindah kontrakan si jantung barusan.

“Alana, kalo makan nggak boleh sambil ngelamun, nih buat dessert.” Kak Dewa mengusap puncak kepala dan meninggalkan bungkusan coklat di meja kemudian berlalu.

“Cieeeeee,” suara kompak Puji dan Rita menyahut cepat.

Ah, benar juga. Tak terasa sudah hampir melewati tengah semester aku dekat dengan si kakak kelas super ramah. Dia yang kerap membantu dalam segala kesulitan pelajaran di kelas teori maupun praktikum. Tak heran, jika orang betah berlama-lama duduk bersama kak Dewa. Selain jago dalam mengerjakan tugas ternyata dia juga pandai menjelaskan pada orang lain. Hei, bukan karena dia sekedar tampan ya. Menjadi seorang guru bukan hal yang mudah loh, tapi ku rasa dia bisa mengambil bagian dari pengajaran juga. Ya, cuma puyeng aja pas lihat tulisannya, memang.

Masalah hati—nanti dulu—sekarang mau fokus persiapan ujian semester. Gemeteran parah, rasanya kedokku akan terbongkar dalam waktu dekat. Siapapun selamatkan aku!

***

Yak, hari ini tepat satu minggu sudah ujian tengah semester berakhir. Semua jadwal nan ugal-ugalan dari kelas teori dan praktikum telah terlewati. Meski penuh drama dan terpincang pula otakku hampir meledak rasanya. Tak ada seorangpun di kelas yang menunjukkan tanda-tanda hendak melakukan kecurangan. Mereka benar-benar mengerjakannya dengan lugas dan jujur. Keadaan yang mendesak otakku bekerja makin keras bahkan, sempat melakukan ‘capcipcup’ disaat genting. 

Bukan lagi tersesat, aku sedang terdampar di pulau harapan palsu. Takut banget jika akhirnya tak bisa lulus atau tinggal kelas. Sialan! Bener, nggak pingin jadi penunjang diagnosa. Sekedar ingin segera lulus, serius! Libur semester hanya berlangsung satu minggu, semua orang bersiap pulang ke rumah masing-masing.

“Dijemput jam berapa, Lan?” tanya Rita yang bersiap pulang, Puji sudah dijemput orang tuanya tadi.

“Palingan bentar lagi nyampe, Rit, ati-ati ya.”

“Oke, kamu juga ati-ati.” Rita memelukku sebelum melangkah keluar kosan dan masuk ke dalam mobil lalu melaju pergi.

Sip, aku sendirian dan hari mulai sore. Ayah dan ibu, nggak melupakanku ‘kan? Muter kemana dulu memangnya, heran. Beberapa jam sudah berlalu, tetap saja ponsel hening membisu. Berulang kali nada sambung hingga habis pun tetap tak terangkat oleh mereka.

“Ck, kemana sih?” Kosan sudah sepi, sama sekali tak ada tanda-tanda kehidupan.

“Ampun deh.”

Banyak notifikasi di grup, beberapa membagikan fotonya yang sudah sampai ke rumah masing-masing. Iseng, ku tanggapi satu diantara banyak pesan di sana. Sambil ngomel seperti biasa karena orang tuaku tak kunjung datang.

Beberapa saat kemudian, ponselku bergetar. Ada panggilan masuk.

*********

Yah, kemarin nama belakang Alana di ganti, sekarang malah dapet si ‘Heh’ entar mau jadi apa lagi, Lan?

Btw, telpon dari siapa sih? Lanjutin yuk!

Aku sangat suka membaca dan menerima masukan berupa saran dari kalian loh, jangan lupa vote dan komennya ya, biar makin semangat bikin bab ceritanya hingga tuntas.

Ah, kita juga bisa berteman di Instagram dan tiktok : @nichi.raitaa

Silahkan dm jika ingin di follow balik ya kawan 🙂

Terima kasih 😘

Secret Face (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang