“Astaga!” Aku spontan menangkupkan kedua telapak tangan di wajah karena terkejut.
Kak Dewa berada di balik pintu membawakan kue dengan banyak lilin yang telah dinyalakan, suara merdunya terdengar menyanyikan lagu selamat ulang tahun untukku diiringi kak Janu dan beberapa teman kos lain berada di belakang. Puji sedang menepuk-nepuk punggungku sambil memberikan pelukan. Anu, apakah aku layak mendapatkan ini semua?
Perlahan katupan tangan melonggar sambil mengintip dari sela-sela jari. Benar aku tidak bermimpi, ini nyata dan aku mendapatkannya? Setelah selesai iringan tadi, aku mulai mengatupkan dua tangan dan memejamkan mata. Menuruti banyak sumber suara yang meminta untuk berdoa.
Baik, jika memang ini adalah jalan yang Kau pilih Tuhan maka jadilah padaku menurut perkataan-Mu, bimbinglah aku seturut yang Kau mau, kutipan ayat yang selalu menjadi bagian favorit sengaja kuselipkan.
Saat netraku terbuka, tahu ‘kan siapa yang terlihat pertama? Iya, seseorang yang baru saja hendak ku semogakan. Namun, alurnya sedikit berubah mungkin harus sedikit memutar.
“Tiup lilinnya,” bisikan Kak Dewa menyadarkan dari lamunan singkat tadi.
Tepuk tangan meriah dan banyak ucapan kembali menyapaku malam ini. Masih saja terasa ada yang hilang. Kehadirannya sudah menjadi bagian dari kebiasaan saat tinggal di sini, Rita.
Beberapa saat setelah memotong kue, kak Janu memilih membawa potongan kue kembali ke rumah. Puji dan yang lain sedang menikmati bagian di dalam kos. Sedangkan aku menemani kak Dewa duduk di ruang yang disediakan untuk menerima tamu. Sebenarnya kos kami tidak mengizinkan tamu laki-laki kecuali keluarga, tetapi tadi kak Dewa mendapat izin dari ibu dan bapak kos untuk bertamu sebentar.
“Udah pulang, Kak?” Aku menatap dari samping sambil mengunyah.
“Kamu nggak suka?” Maniknya menatapku.
“Eh, suka kok … penelitiannya?” penasaran, tak biasa dia begini.
“Udah sama yang lain.” Kak Dewa mengedikkan bahu dan menjawab singkat seolah tak peduli.
Wah, biasanya ka Dewa selalu berambisi tentang berbagai bidang penelitian yang sedang berlangsung. Dia sudah lelah sepertinya, atau memang sibuk saja untuk persiapan ujian sendiri, mungkin.
“Nggak biasanya, Kak Dewa begini, capek ya? Lagian mau ujian malah ngikut sih kamu, Kak?”
“Nggak biasanya gimana?” Kak Dewa mengernyitkan kening.
“Ya gitu, nyerahin ke yang lain.”
“Em, kalo soal kamu nggak akan aku serahin ke yang lain. Makanya aku pulang sekarang.” Maniknya masih menatap lekat.
Hah?! Bola mataku belum lepas, ‘kan? Jadi dia pulang karena aku berulang tahun? Yang benar saja woy!
“Kenapa sih ekspresinya? Hahahaha, aku udah selesai persiapan buat penelitiannya kok, yang lain tinggal nerusin. Aman terkendali, lagian kamu juga bilang tadi, aku mau ada ujian abis ini. Hm?” Kak Dewa menangkupkan tangan besarnya di sisi pipiku.
“Selamet, bukan karena aku ulang tahun ‘kan, Kak?” Aku mengelus dada.
“Ya, justru itu.” Dia kini menyentil ujung hidungku.
“Kak Dewa!” Aku memukuli lengannya tak henti, dia malah terkekeh kemudian menangkap pukulan yang kesekian.
“Memang kenapa kalo karena kamu, wajar ‘kan? Kamu jadi prioritasku sekarang, Sayang.” Suaranya tetap begitu lembut.
Maniknya menatap lekat ke dalam mataku. Sungguh aku sangat ingin mengunci waktu barang sebentar. Ah, terlalu egois memang. Akan tetapi, sangat ingin menyimpan kenangan indah sedikit lagi, sebentar saja. Izinkan aku merasa diinginkan, disayangi dan dilindungi. Aku juga ingin merasa berharga dan diperjuangkan sekeras ini oleh seseorang. Bolehkah sedikit lagi ego menelan kewarasan diri?
“Hng, Alana? Hei, kok nangis sih.” Tangan kak Dewa hangat, menyapu air mata yang meleleh di pipiku.
Sialan, sial, sial! Berhenti menangis mata bodoh! umpatan hatiku.
“Cup, cup, maaf ya, kalo aku salah bicara. Sstt, udah … udah.” Kak Dewa kini membawa kepalaku masuk ke dalam pelukannya.
Sebentar saja, kumohon, hanya sebentar, janji pada hatiku sendiri.
Sesaat setelah tangisan mereda, aku menarik diri. Kami bersitatap dalam diam, senyum kak Dewa tak memudar. Dia masih menangkupkan kedua tangan di kedua pipiku sambil membelainya perlahan. Baiklah, aku sudah cukup tenang. Semoga ini tidak terlalu mengguncangnya. Dia adalah siswa berprestasi, tak apa. Dia juga setenang ini, tak masalah. Benar, ini tak akan jadi masalah besar buatnya.
“Sudah tenang?” tanya kak Dewa, aku mengangguk sebagai jawaban.
“Kak—” kalimatku terputus, ponsel kak Dewa berdering.
“Tunggu bentar ya,” ucapnya, aku kembali mengangguk.Pemuda rupawan tadi mengangkat telepon tanpa berpindah tempat, membiarkan aku mencuri dengar panggilan dari orang tuanya. Sedikit tertangkap mereka ingin kak Dewa pulang saat ujian nanti ketimbang berada di kos. Lagipula memang, ujian nanti tak ada siswa selain kelas dua belas. Kami semua diliburkan pada masa itu. Sekolahan steril. Tak lama kak Dewa menyudahi panggilan dengan decakan kesal.
“Nggak boleh gitu ih, kali om sama tante kangen, Kak.”
“Iya sih, tapi lumayan kalo pp aku capek, ‘kan?”
Nggak salah juga sih ini alasan Kak Dewa, batinku.
“Abis ujian nanti kakak mau kuliah ‘kan?” Kak Dewa mengangguk, kemudian beralih menggenggam jemariku.
“Nah, makanya sering-sering pulang, kali aja kuliah di luar kota. Jarang bisa ketemu orang tua.” Sok bijak loh, Lan. Apa kabar kamu yang disini sendirian, woy?
“Uh, nggak kemana-mana. Takut jauh dari Alana.” Suara Kak Dewa sengaja dibuat manja.
Salah, hei, salah. Malahan kini tubuh mungilku tertelan tubuh kak Dewa masuk direngkuhnya sekuat tenaga hingga sesak napas. Beruntung segera melonggar, disentilnya ujung hidung kecilku.
“Enggak, aku nggak akan kemana-mana, kalo nggak kamu izinin.” Kak Dewa tak mengalihkan pandangan padaku.
“Eh, kenapa? Boleh kok.”
“Emang kamu nggak kangen nanti?” Raut muka si tampan berubah.
Serius, sebentar lagi mungkin hubungan kami tak akan jadi seperti ini. Tarik napas dulu boleh ya, inginnya tetap sedekat ini meski nanti statusnya tak lagi sama. Tolong keegoisan diri yang tiada habis. Selalu ada masa di tiap pertemuan, kemarin aku sempat lupa. Jika waktu selalu saja terbatas. Mari berikan senyuman yang hangat dan terbaik dulu sebelum membuka perang dunia kebatinan sesaat lagi. Jika biasanya pemuda di depan yang menggenggam tangan terlebih dulu. Kini aku yang meraihnya lebih awal sebelum tangannya bergerak mendekat.
“Kak.”
“Hm, iya sayangku, kenapa?”
Tolonglah, siapa yang mengupas bawang malam-malam begini? Mataku perih tahu, berair lagi ‘kan? Ah, elah! Lemah banget sih ini mentega mata, cair mulu perasaan dari tadi. Kesel banget sama diri sendiri. Belum juga memulai kalimat yang seharusnya terucap. Malah jatuh lagi ke pelukan hangat kak Dewa.
“Alana, kok jadi cengeng banget sih?” Kak Dewa menepuk pelan bahuku yang terguncang.
Iya, makanya Anda jangan segitunya dari awal ‘kan udah dibilangin saya ini nggak seperti covernya. Sekarang jengah ‘kan ngadepin cewek dikit-dikit 'ngek' begini?
“Hei, siapa sih yang berani bikin Alanaku nangis begini, hm? Bilang coba!” Kak Dewa terdengar menekan tiap kata.
Astaga, Kak Dewa bisa berhenti tidak? Aku sedang mencoba melepaskan apa sih ini? Apa yang sebenarnya kumulai kemarin? Benarkah tak apa setelah ini, berapa waktu tak bersama kemarin saja terasa kosong? Kemudian kini harus segera disudahi. Bodoh, Alana kamu sungguh bodoh! Sekarang justru kubenamkan wajah di dada bidangnya, berharap sesaknya dapat membawa pergi perih yang sedang tertahan.
Maaf, aku sedang mencoba mengendalikan diriku, sungguh, bisikan hatiku.
***
Hey, ayolah ... lanjut ke part berikutnya yaaa please 🙏😘
KAMU SEDANG MEMBACA
Secret Face (END)
Teen FictionBagaimana jika ternyata semua keindahan itu hanya sebuah jebakan? Begitu sudah berhati-hati, tetapi seseorang menarik terlalu kencang hingga akhirnya terperosok juga ke dalam. "Hhhh ... katanya, semua yang terjadi di dunia ini tak ada yg kebetulan."...