Bab 21

6 1 0
                                    

Heyho, selamat membaca
Kalo bisa tinggalkan jejak yaa
Enjoy 😘

***
Akhirnya, aku bisa bernapas lagi. Setelah tercekat selama beberapa menit tadi. Entah kenapa, gerakan kecil dari orang satu ini selalu memiliki daya pikatnya sendiri untukku. Kuat sekali makna ingin melindungi yang dikatakannya kemarin. Ah, sial! Sepertinya wajahku memerah.

“Lana, yuk!” Mana sempet merah, udah pelangi sepertinya karena kak Dewa langsung menyambar tanganku dan menuntun agar mengikutinya.

Hadeh, si Alana, memang gila visual! Baru sesaat kalut sekarang malah tercengang melihat pasar yang cukup ramai malam ini. Terdapat banyak sekali tenda yang berjajar dan saling berhadapan. Menjual beraneka macam dari hiasan, lilin, makanan dan beragam lainnya. Setelah tadi hati yang sibuk, kali ini giliran mata sangat liar mengedar ke sekitar.

“Ah, lucu.” Tanganku terlepas begitu saja dan mampir di salah satu tenda.

Sedang sibuk menelisik, adakah salah satu boneka yang kuinginkan di salah satu tenda yang menjual berbagai macam boneka kecil. Masih saja terus sibuk melihat jajaran raknya. Kemudian, netraku malah melihat atraksi yang lebih menarik lagi. Tenda sebelah sedang ramai dipenuhi orang. Setelah menengok, ada seorang sedang memperagakan alat sulapnya. Menarik, langsung saja bergabung di kerumunan.

Beberapa saat berlalu, saking larutnya menikmati aksi barusan. Aku hening sejenak dan tersadar setelahnya.

“Eh, Kak Dewa, mana?” Sedikit panik kuedarkan mata sambil mengerjap ke sekitar.

Oh, tidak! Keramaian tak sengaja memisahkan kami tadi. Kukira, Kak Dewa menyusul dan berada di belakang. Nyatanya, aku seorang diri saat ini. Entah sejak kapan betulnya sendirian di tempat asing (lagi). Bodoh, sejak awal memang aku seorang diri. Bisa-bisanya sedang berada di tengah keramaian begini, malah hati terasa kosong dan sunyi.

Masih terus melangkah, sambil sesekali menengok ke arah lain dan memutar kepala. Barangkali saja, berpapasan dengan kak Dewa. Dia tak mungkin melupakanku di tempat ini, bukan? Yang benar saja, tetapi sudah berapa lama sejak tadi tak kunjung  terlihat batang hidungnya. Eh, tunggu! Otak sialan, kenapa mellow duluan. Ada ponsel menganggur di t-tas? Loh, mana tasku?

Saking terburu-buru tadi, aku melupakan tas yang harusnya dibawa? Ah, Lana. Kenapa begitu ceroboh disaat begini, oke, baiklah. Aku Alana si anak hilang tak tahu arah dan tak punya bekal. Siapapun tolong!

Sebuah tarikan tangan membuat berjingkat, sesaat. Hampir saja aku berteriak.

“Dapat!” Suara yang tak asing, menarik tanganku keluar dari tengah kerumunan.

“Kak Dewa, huwa ….” Manik kami bertemu, tanpa sadar aku memeluknya.

Hampir saja, aku menangis di tengah keramaian begini saking paniknya. Tepat waktu, kak Dewa. Eh, tunggu suara gaduh apa ini? Wait, oiya aku kelepasan memeluk kak Dewa. Kepalaku mendongak pelan lalu menyuguhkan senyum canggung saat bertatapan dengannya yang menunduk. Sesaat masih melingkar erat tangan di tubuhnya hingga hendak kulepas. Namun ….

“Tunggu! Tunggu sebentar, Lana! Aku butuh bernapas.” Kok makin kenceng dipeluk baliknya ini.

Anda nggak salah, ya? Malah butuh napas sambil pelukan begini, nah, aku apa kabar? Nggak bisa napas malahan ini Kak. Em, akhirnya ku simpan wajah mungil ini di dada bidangnya. Suara dentuman dari dalam tak kunjung reda juga. Dia habis berlari apa bagaimana? Setelah beberapa menit hening dan bergeming di tempat kami. Kak Dewa menjauhkan tubuhnya perlahan dan melepas pelukan.

Dia kini mensejajarkan pandangannya denganku. Tatapan yang biasanya teduh berubah makna.

“Alana, nggak boleh belok mendadak lagi, ya. Jangan dilepas, apapun alesannya tolong jangan di lepasin tangan aku! Beneran, aku bingung banget tau tadi. Ponsel kamu di kos pula, Lana, ah … kamu kelupaan bawa tas juga? Kalo sampe nggak ketemu gimana ini tadi? Aku—” Kalimatnya terjeda, dia menatap sejenak dengan napas sedikit tersengal lalu mengatupkan kedua telapak tangan di wajah rupawannya.

Mengusapnya secara kasar lalu menyisir rambutnya ke belakang. Aku hening, iya, aku merasa sangat bersalah. Sangat merepotkan emang, dasar Alana bego! Tak kuat terus ditatap, kepala pun tanpa sadar menunduk. Memungut banyaknya kesalahan pada kak Dewa hari ini.

“Maaf, Kak.” Hanya kalimat itu yang mampu kuucap sambil menggigit bibir bawah.

Tak ada suara, aku melihat dia melangkah mendekat lagi. Lalu, didekapnya tubuh mungilku kembali. Seperti kemarin, dagu miliknya berada di puncak kepala. Loh, bukan. Ini bukan dagu?

Cup! Meski sekilas, aku merasakannya. Derapan di dada kiri lawan makin menjadi, benar. Sebuah kecupan singkat tentu saja menjadi pemicunya. Jantung milikku malah sudah berhenti berdetak sejak tadi. Ah, pelan-pelan bagaimana ini konsepnya, Bang?

“Maaf, malah jadi ngomel.” Kok ikutan minta maaf (lagi) sih, Kak.

Kali ini aku yang melepas pelukan dan membuat jarak diantara kami.

“Ih, kok Kak Dewa ikut minta maaf sih, aku yang salah kok.” Dia menggeleng dengan senyum tipisnya.

“Enggak kok, nggak apa, nanti bakal aku cariin terus sampai ketemu pokoknya. Tapi, kalo bisa jangan sengaja ya, Lana.” Kak Dewa menatap lekat sambil meremas tanganku yang masih di genggamnya.

Aku mengangguk dengan remasan balasan. Terbit juga senyum dan tatapan teduhnya.

“Ini tolong dilepas, kasihan.” Jarinya menyentuh daguku dan melepas bibir yang sedang terapit oleh gigi.

Kebiasaan yang sulit terlepas setiap aku merasa tak nyaman, khawatir, takut atau tertahan. Tentu saja, menahan serangan ribuan kelelawar malam ini. Soalnya kupu-kupu sepertinya kurang greget demi menggambarkan yang sedang kurasa sekarang. Tangan besar kak Dewa menggandengku lebih kuat ketimbang tadi bahkan, seringkali dia menengok ke arahku. Takut terselip kembali diantara kerumunan.

“Lana, lihat. Mungil lucu kayak kamu, mau?” Kak Dewa mengambil sebuah gantungan kunci berbentuk koala.

“Kalo gantungan kuncinya seukuran kak Dewa, trus tas atau kuncinya seberapa? Ini juga nggak se-aku tau, Kak.” Kuraih gantungan tadi sambil mengomel dan mengerucutkan bibir.

“Oke, salah. Maksudnya kamu banget, doyan tidur, kayak koala.” Bagus, emang i-iya sih tapi nggak gitu juga plis.

Aku jadi teringat beberapa waktu yang lalu, lebih tepatnya sebelum ujian tengah semester kemarin. Sok-sokan banget singgah di perpustakaan, tetapi justru terbuai mimpi indah berkat angin sepoi-sepoi yang mengenai wajah. Kemudian terbitlah keisengan si kakak satu ini. Entah sejak kapan tepatnya, dia sudah berada disana ketika aku membuka mata dengan tampang jahilnya. Menunjukkan foto diriku yang sedang terlelap di atas tumpukan materi yang sedang kubaca tadinya.

“Nggak gitu juga, Kak.” Masih ngeyel.

“Ah, masa sih? Pas praktikum aja sempet tidur.” Hahahaha, kenapa dia ingat.

Benar, aku tertidur juga saat sedang melakukan pengamatan pada protozoa dalam praktikum Parasitologi melalui mikroskop. Sungguh, aku sangat malu karena insiden itu. Kebetulan sekali bukan? Kak Dewa sedang lewat, hendak mengikuti praktikum juga di lab sebelah. Tepat ketika tubuhku limbung dan ambruk begitu saja. Kali kedua, aku membuat gaduh kelas praktikum.

Dua sudut bibir di wajahku tertarik, menunjukkan barisan gigi yang tak rapi karena ada gingsul yang menyela di sebelah kiri. Pemuda di depan menyentil ujung hidungku kemudian membayar gantungan yang masih tergenggam.

“Dah, simpen dulu, nanti dipasang.”

“Iya, terima kasih.”

Malam kian larut tanpa terasa, jam sudah menunjuk pukul sepuluh. Kami harus bergegas kembali. Sesampainya di kos, sudah ramai saja. Penduduknya lengkap, berapa pasang mata sedang berjajar di balik tirai memperhatikan kami. Harus siaga menyiapkan gendang telinga kali ini.

“Kak, aku langsung masuk, ya?”

“Nggak boleh dong.”

“Eh, kok?”

Hening, dia hanya menatap lekat ke dalam netraku. Manik yang dimiliki pemuda ini terkena cahaya lampu di atas kami. Warnanya memang tak pekat, coklat mudanya sangat terlihat jika terkena cahaya.

***

Monmaap, efek apa nih ampe authornya kok ikut degdegan pas ngetik sambil cengar-cengir 😆🤣🫣

Eh, jadi curhat!
See you next chapter 😘💕

Secret Face (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang