Bab 42

4 0 0
                                    

Waktu praktikum terakhir akhirnya usai. Semua sedang sibuk berkemas dan bersiap pulang tentu saja. Setelah guru meninggalkan ruangan, kami mengantri rapi di dekat pintu juga. Tak segera berlalu, aku menunggu seseorang keluar dari ruangan. Biasanya memang dia memilih paling akhir, tak senang berdesakan.

“Abim … Abim, tunggu!”

“Apa sih?” Kok langsung kesel gitu sih mukanya.

“Mau nanya aku tuh.”

“Tadi udah dibilangin, tanya langsung ke pacar kamu. Dah!”

“Abim, tungguin!” Aku mencekal tangannya, tetapi ditepis kasar juga hingga hampir terjatuh.

“Dengerin ya, nggak usah sok akrab, nggak kenal aja sekalian.” Mata tajamnya berkilat sambil menunjuk di depan wajahku.

Selama ini untuk menatap saja bahkan dia sangat jarang dan hanya dalam waktu singkat. Sekarang malahan seperti ini, apa salahku? Ada yang nggak beres, bukankah kita hampir menjadi teman dekat? Semudah ini berpalingnya, aduh dasar cowok gimana sih pola pikirnya. Aku tak mengerti. Dia menuruni tangga kemudian tanpa menoleh.

“Abim!” Aku menyusulnya tergesa.

“Abim, kenapa sih, Abim!” Sekali lagi kuhadang dia sekarang.

“Ck, minggir.”

“Enggak!”

“Minggir napa!”

“Kalian yang berantem kemarin di belakang sekolah? Ngapain? Kamu diapain ampe bonyok gitu, gak kamu lawan balik apa?”

“Kamu mau wajah tampan pacar kamu lecet?” Abim menekan tiap katanya sangat jelas.

“Ya, enggak sih, tapi kenapa berantem sih!”

“Cih, tanya sama pacar kamu! Minggir!” Abim benar-benar pergi sekarang.

Dia berlalu dengan motornya meninggalkan sekolah dan aku yang masih tertinggal di belakang. Sebenarnya ada apa hingga mereka harus melakukan tindak kekerasan. Akhirnya aku memutuskan untuk pulang juga. Barangkali Puji sudah sampai di kos.

“Eh, kak Dewa?” Dia sedang duduk di bawah pohon depan kosku.

“Kok baru pulang?” dia bertanya.

“Ah, iya mampir perpus bentar.” Dusta, sedikit saja boleh ya.

“Mau belajar bareng lagi nggak?”

“Boleh, Kak.”

“Sayang?”

“Hm?” Bola mataku membulat penuh.

“Sayangnya mana?” Suara kak Dewa lebih menggelitik perut ketimbang telinga saat ini.

“Kak, kamu kenapa berantem sama Abim? Anak orang itu sampe bonyok begitu.”

Tatapan matanya berubah. Oiya, aku memang ember bocor. Sulit sekali mengendalikan inginku sendiri. Maafkan, tak sengaja tapi sungguh sudah tak tertahankan.

“Dia bilang sama kamu?”

“Enggaklah, tapi ngapain kalian ke BK berdua. Kemarin aku juga sempet lihat kamu sama kak Janu di kerumunan. Kak?”

“Bisa nggak, bahas selain Abim? Baru aja baikan loh kita, Lana.” Maniknya menatap dalam.

“Iya maaf, Kak. Tapi, jangan gitu lagi ya. Bisa ‘kan bicara baik-baik, oke?”

Tak ada jawaban dari pemuda di depan. Hanya terdengar hembusan napas beratnya. Sedetik kemudian dia mengambil tanganku, menengadahkannya ke atas lalu memberi setoples coklat.

Secret Face (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang