Tentu saja, perang pecah lagi. Kekasihku melihat kebersamaan kami bertiga tadi, dia juga sempat berpapasan denganku yang berlari menyusul Abim ke arah parkiran. Yah, begitulah. Terjadi lagi drama kecemburuan kesekian kali. Padahal sangat jelas, Puji menemani di akhir saat bersama Haris.
“Iya, aku salah udah nggak angkat telpon, maaf ya, Kak.”
“Enggak, aku nggak pingin kamu minta maaf.”
“Terus?”
“Jangan abaikan aku, Lana, jangan! Tadi kamu ngapain ke Abim?”
“Kak, ibunya masuk ICU aku cuma—” Belum selesai sudah terpangkas saja.
“Temen yang lain nggak ada?”
“Yang lain pada nggak tau tadi, cuma ketemu aku, Puji sama Haris. Motor cuma satu yaudah aku doang yang ikut.”
“Tapi kenapa harus kamu?” Masih terus dicecar.
“Ya soalnya cuma ada aku sama Puji, sedangkan Puji ada janji sama mbak kos tadi tuh.”
“Tetep aja aku nggak suka kamu deket sama mereka, apalagi Abim, ngapain sih?”
“Kak Dewangga, ibunya Abim masuk ICU aku cuma perwakilan kelas dadakan buat nemenin dia gitu loh.”
“Terus, tadi Haris kenapa?”
“Kak, dia juga cuma temen.” Cepat sekali sahutannya.
“Semua aja Alana, aku nggak peduli. Aku nggak suka kamu deket sama mereka. Titik!” Lagi, nada mulai meninggi dari kak Dewa.
“Kak, Haris cuma tem—” dipangkas lagi.
“Terserah kamu bilang apa, tapi emang kamu tau gimana perasaan mereka ke kamu, hah? Enggak kan? Aku nggak mau kehilangan kamu, Alana.” Sekian kali.
“Kak, iya aku tau aku paham. Tapi, bagaimanapun mereka asal aku enggak, ya nggak bakal kejadian toh.”
“Oiya, kamu bisa ngejamin?”
“Astaga, terus apa kabar Rita yang udah jelas-jelas dia suka sama kakak?”
“Kok kamu malah nyangkut ke Rita lagi sih? Aku nggak nanggepin dia.”
“Ya kakak nuduh semua temen aku, bahkan aku ngerasa dituduh juga gitu loh.”
“Siapa yang nuduh? Aku cuma pingin kamu tau, aku nggak suka. Kamu punya aku, Alana, paham?”
“Kak Dewa, aduh, terus aku nggak boleh deket sama siapapun gitu?”
“Emang aku nggak cukup buat kamu?”
“Kak? Bukannya gitu.”
“Alana, aku nggak mau berbagi kamu sama siapapun, kamu ngerti gak sih?”
Tak ada habisnya, tetap saja aku yang salah dan harus minta maaf. Akan tetapi, jika meminta maaf dia juga akan mengulang kalimat yang serupa. Benarkah hubungan yang kujalani ini masih sehat dan waras? Karena aku mulai limbung untuk melanjutkan. Masih dalam jarak yang dekat sudah seperti ini melulu. Bagaimana kisah kami jika dilanjutkan setelah ini?
Tak ada sahutan yang kuberikan saat ini lebih suka diam dan mengamati ekspresi jenuh dari kak Dewa. Dia juga sama lelah sepertinya. Tak ingin makin lama bersitatap, aku memutuskan melesak masuk dan mengunci pintu kamar. Mengabaikan sekian panggilan darinya. Anggaplah telinga sedang kehilangan fungsi sementara, dan lupa siapa nama yang sesungguhnya. Rasanya sudah banyak kehilangan kendali atas diriku sendiri.
***
Tahu tidak apa yang kutemui pertama kali saat keluar dari pintu utama kos pagi ini? Iya, kak Dewa membawa seikat bunga tulip berwarna kuning dengan mata sembab. Entah berapa panggilan yang ku abaikan semalam. Ponsel sedang mati hingga pagi ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Secret Face (END)
Teen FictionBagaimana jika ternyata semua keindahan itu hanya sebuah jebakan? Begitu sudah berhati-hati, tetapi seseorang menarik terlalu kencang hingga akhirnya terperosok juga ke dalam. "Hhhh ... katanya, semua yang terjadi di dunia ini tak ada yg kebetulan."...