Tak mau bertengkar lagi di saat begini, ketimbang menambah rumit hubungan kami. Padahal setelah ini cukup lama tak akan jumpa. Jadi, aku memilih jalan damai dengan mengiyakan semua yang diinginkan kak Dewa.
“Janji?”
“Iya, janji. Pasti diangkat telponnya. Tapi kakak belajarnya gak boleh kendor.” Aku berpesan dengan sungguh.
Kami berpisah setelahnya, iya setelah kak Dewa puas memastikan aku akan menepati janji. Seusai ujian mereka, giliran kami yang mempersiapkan diri untuk kenaikan kelas juga. Sebenarnya kami ini sama sibuk, tetapi kenapa pula masih sempat bertengkar hebat seperti tadi, sih? Heran. Ya sudah, berhubung libur cukup panjang. Ayah menjemput dan membawa pulang.
Kak Dewa selalu bertukar kabar tiap hari melalui sambungan telepon, tak jarang melakukan panggilan video hingga aku tertidur kala malam. Dia juga tak berada di kos, seperti yang diminta mamanya. Pemuda itu tinggal dirumah kali ini, sesekali mama juga mengintip dan ikut larut dalam obrolan kami. Belum lagi papa kak Dewa yang hobi melawak ini. Siapa sangka dia adalah dokter anak yang cukup terkenal rupanya, pantas saja kak Dewa dengan mudah memahami materi bahkan menjanjikan akan mencoba peruntungan di jurusan kedokteran nanti.
Tak terasa sudah lewat dua minggu, saatnya kembali ke tanah rantau dan memulai petualangan baru. Puji menatap ke arah bangku tempatku berada seperti biasa. Merapalkan mantra yang sama saat mata kami berjumpa kemudian beralih pada lembar kerja di depan kami. Serentak ujian selesai juga di hari yang sama, semua siswa menghambur ke jalanan sambil sibuk bercengkrama. Rita terlihat dari kejauhan merangkul teman sekelasnya.
Benar-benar tak ada sapaan untuk kami, seperti tak pernah mengenal. Tak pernah ada ikatan sebelumnya, mungkin ini juga salahku. Namun, tak banyak yang bisa ku lakukan. Sedang santai berjalan di jalur lambat, terkejut saat seseorang menabrak hingga ambruk ke belakang.
Beruntung, tubuhku tertangkap orang tadi. Sangat terburu-buru sepertinya, setelah meminta maaf singkat. Abim kembali berlari, sialan! Terasa janggal dari caranya menatap, dasar tak bisa sekali saja abai jika tentang keluarga. Aku justru menyusul pemuda barusan.
“Abim, ibu kenapa?”
“Masuk ICU!”
Abim berlalu setelahnya, disusul Haris yang kini menghampiriku.
“Mau ikut, Lan?” Tak banyak basa-basi aku naik ke jok belakang Haris dan melaju menyusul Abim.
Sekilas info, kelasku terkenal dengan ikatan antar siswa yang kuat. Tak hanya sebatas pertemanan yang sedang kami bentuk, mereka ini adalah keluarga. Banyak dari kelas adalah anak perantauan sehingga kami kerap berkumpul bersama. Ibu dan ayah kami milik bersama rasanya. Beberapa waktu yang lalu Hana, Puji, Dina dan Tika ikut menyambangi rumahku dan menginap selama beberapa hari. Begitupun aku yang kerap memilih tidak pulang, justru menginap ke rumah Rindu, Laras ataupun Lani. Masih banyak lagi tempat yang dikunjungi.
Setelah berita beredar dan doa dikirim untuk ibu Abim yang sedang sakit, kami mengabari juga jika kondisi berangsur stabil. Kemungkinan esok hari dipindahkan ke ruang rawat biasa.
“Kalian nggak usah repot, kesini melulu. Nanti capek.” Suara berat bapak Abim adalah favoritku.
“Nggak apa-apa kok, Pak. Lagian kita juga mau nemenin Abim.” Haris menyahuti.
Aku hanya memberi senyuman sekilas. Pandangan lebih terfokus pada Abim yang masih terlihat gusar berdiri di pintu ruang ICU. Sesekali dia mengintip ke dalam dengan wajah yang terlihat cemas. Meski dokter mengatakan hal tersebut, tetapi hari esok memang menjadi misteri.
“Abim, duduk yuk!”
“Hoo, sana pulang, istirahat!” Loh, nggak fokus anak satu ini.
Manik legamnya sibuk berlarian, napasnya sedikit memburu, tangannya masih meremas satu sama lain. Ku tangkap saja jemarinya.
“Abim.” Terjingkat sedikit pemiliknya, “duduk, ayo!” Aku menariknya paksa.
Akhirnya pemuda linglung tadi duduk bersama kami. Bapak sedikit geli melihat caraku menyeret Abim mendadak, si bocah terlihat menurut saja saking kalut ya, sepertinya.
“Ris, anterin pulang, udah gelap.” Abim malah menyuruh Haris.
“Iya bener, udah nggak apa-apa, Nak Haris, Alana. Pulang saja, istirahat.” Bapak Abim ikut menimpali.
Setelah beberapa saat, kami memutuskan untuk berpamitan juga. Sepanjang perjalanan tak ada suara yang terdengar hingga tiba di kosan. Haris hening, begitupun denganku. Kami seperti berjalan dengan pikiran masing-masing.
“Alana, makasih ya. Kamu udah mau baik sama Abim. Yah, meski orangnya ngeselin banget.” Senyum tipis tertempel di wajah Haris.
“Sohib kamu, ‘kan? Tapi, kamu juga baik banget loh Ris, sabar pol.”
Aku melihat Haris menggeleng, “Nggak, Lan. Nggak ada yang setulus kamu.”
“Hah? Maksudnya?” Pemilik motor abu-abu di depanku kini mengangguk lalu mengambil banyak udara.
Sebelum memulai ceritanya, terdengar sekian kali udara diambil dan dihembuskan kasar. Hampir tak percaya dengan apa yang terdengar. Rasanya aku ikut frustasi mendadak mengetahui fakta barusan. Sesak menyeruak tanpa permisi, ponsel yang menyala di sebelah sampai terabaikan olehku. Tak bisa berkata lagi, tercekat seluruh pergerakan kini.
“Ris, kamu bohong, ‘kan? Yang bener aja.”
“Aku juga nggak tau, Lan. Sumpah, aku nggak ngerti apa yang dipikir sama papi aku. Lagi aku juga nggak tau, kalo itu ternyata ibu temen aku, Abim, sialan, bajingan!” Haris memukul dada sendiri berulang.
Ternyata selama ini, ada alasan dibalik kebaikan yang selalu Haris beri pada Abim. Fakta kelam yang disembunyikannya sendirian. Tak berani dia mengatakan pada siapapun, hingga hari ini padaku. Saat mami Haris membutuhkan pendonor ginjal, papinya menemukan orang yang bersedia membantu dengan sejumlah imbalan demi biaya hidup. Setelah menjalani serangkaian tes kesehatan saat itu ibu Abim lolos dan menjalani pendonoran sesuai kesepakatan. Kini, tubuhnya kian melemah dan hanya mengandalkan satu ginjal yang tersisa serta kondisi paru yang tak kunjung membaik.
Entah berapa lama lagi ibu Abim akan bertahan. Haris terisak disampingku, menyesali semua yang terlanjur terjadi. Kesalahan yang mungkin bukan miliknya, tetapi menghantui seumur hidup.
“Lan, nggak bisakah waktu diputer lagi?” Di tengah isakannya kalimat tadi mampir.
“Haris, tau nggak semua yang udah digariskan Tuhan tetap bakalan terjadi, sebisa apapun usaha manusia buat ngelawan. Tetep aja, kalau memang udah takdirnya. Kita bisa apa?” Kalimat tadi tak cukup meredakan guncangan di bahu pemuda di sebelahku.
“Ris, kita jalani hari besok aja masih misteri. Doain aja yang baik-baik, ya. Bukan salah kamu kok, Ris, bukan. Hidup ini pilihan.” Aku memilih menepuk-nepuk pelan punggung teman satu ini demi menenangkannya.
Tak lama hingga Puji keluar dengan air minum di tangannya. Kami malah menangis bertiga malam ini, gila! Setelah menenangkan diri, Haris berpamitan pulang. Kami juga sibuk berkemas. Sebentar lagi libur semester tiba, perpisahan kelas dua belas juga dimulai. Ah, tidak! Rasanya ada yang terabaikan sejak tadi, gawat. Benar saja ada dua puluh satu panggilan tak terjawab, sial!
***
Hello, see you next part 🥲
KAMU SEDANG MEMBACA
Secret Face (END)
Novela JuvenilBagaimana jika ternyata semua keindahan itu hanya sebuah jebakan? Begitu sudah berhati-hati, tetapi seseorang menarik terlalu kencang hingga akhirnya terperosok juga ke dalam. "Hhhh ... katanya, semua yang terjadi di dunia ini tak ada yg kebetulan."...