Bab 22

12 3 3
                                    

Hope you enjoy it 🥰

***
“Lana, makasih ya udah mau nemenin jalan.”

“Kak, kebolak, aku yang harusnya bilang—” Jari telunjuknya tertempel singkat di bibirku mendadak hening deh.

“Dah, istirahat. Sampai jumpa besok,” pamitnya kemudian berjalan mundur sambil melambaikan tangan.

Boleh salting nggak?! Aku membalas lambaiannya lalu berlari masuk ke dalam bangunan kos. Tentu saja, sorakan super ramai menyambut. Akan tetapi, bukan telinga yang meledak melainkan hati. HARGH!

Rasanya ingin memperingatkan diriku sendiri yang terombang-ambing saat ini. Agar tak melewati batas kewarasan diri. Tak mengapa jika sebatas mengagumi dulu, hanya saja pesonanya membuat hati terhanyut. Hanya perlakuan kecil saja sudah berhasil membuat rona senja muncul di kedua pipiku. Malam ini sepertinya tak mungkin terlelap, memang, sangat tidak aman untuk jantung.

***

Puji sengaja mendahului langkahku ketika melihat kak Dewa sudah bersandar di dinding depan kos kami. Rita jangan ditanya lagi, sejak semalam dia hening. Sudah bergumul dalam selimut ketika aku datang dan sudah tak berada di kamar setelah keributan bangun kesiangan tadi.

“Kak, kita mau nyebrang jalan?” Aku mengangkat tangan yang sedang di cengkram oleh pemuda di samping.

“Nggak mau, yaudah sini.”

“Kak Dewa! Turunin nggak! Akh!” Dia tak peduli bagaimana orang sekitar sedang memperhatikan kami.

Sepertinya aku harus menambah berat badan agar tak mudah diangkut begini. Sudah mirip nangka, digendong begitu saja. Sudah bukan panas lagi yang kurasakan, entah apa namanya malu luar biasa. Nggak ada yang namanya pelan-pelan. Apa itu perlahan jika bisa secara ugal-ugalan?

“Lana, aku dikira penculik nanti.”

“Kakak sih, main angkut aja loh, ampun.”

Pemuda di depan terkikik pelan. Ya ampun, meleleh aku pagi ini.

“Yaudah sana, masuk.” Kulambaikan tangan berpamitan.

Kami berpisah karena kelas kak Dewa berada di gedung sebelah. Aku melenggang riang menuju ke kelas. Sesaat sebelum masuk, tertangkap sosok Rita sedang bersama kawan sekelasnya. Namun, lambaian tanganku tak tersambut. Gadis itu justru masuk ke dalam kelasnya seolah tak melihat apapun.

Ah, Rita matanya emang minus sih, nggak keliatan apa? pikirku dalam hati.

“Eh, oh, Abim ….” Loh, aku dikacangin? Langkahnya tak berhenti lewat begitu saja.

Bagus, pagi ini ada apa sih. Kok mendadak aku menjadi tersamar, wah, nggak masuk ke portal dimensi lain ‘kan aku tadi?

Lantas, aku meletakkan tas di bangku sebelah Puji. Gadis berhijab ini menatap dengan senyum menggoda, bersiap meluncurkan kalimat usilnya.

“Ciye, gandeng terus, Lan.” Tuh, ‘kan?

“Duh, jangan gitu dong. Malu aku.”

“Udah jadian ya kalian?”

“Engga, belum, eh enggak, ah, apaan sih wey.” Kacau balau sudah terserah.

“Palingan juga bentar lagi.” Puji mengedikkan bahu sambil mencebikkan bibirnya.

Sebuah cubitan gemas mendarat tepat di perutnya pagi ini.

***

POV ABIMANTARA

Akhirnya terlihat juga hari ini, si mentari pagi kelas kami. Terakhir kali sore itu kulihat dia sudah bersama seseorang yang tepat. Yah, cukuplah kalau begitu tugasku sudah usai. Tak perlu repot lagi menemani dia yang kesepian. Sebenarnya sangat ingin kuceritakan jika kami sudah berdamai dan saling memahami. Rumah tak sepengap kemarin meski masih butuh beberapa waktu juga untuk lebih memangkas jarak. Setidaknya, aku tak harus sibuk berlarian kembali.

Secret Face (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang