"Sarapan siap!" seru lantang seorang wanita paruh baya yang terdengar sampai ke telinga setiap penghuni rumah. Harusnya. "Ayo, buruan pada turun biar nggak telat!"
Tidak butuh waktu lama bagi dua lelaki yang berbeda generasi, muncul dan mengisi kursi masing-masing. Baik sang kepala keluarga maupun si bungsu, sama-sama antusias dalam menyambut menu hidangan pagi ini. Sayangnya, mereka tidak bisa langsung menyantap semua itu.
Junior mengaduh saat punggung tangannya langsung dipukul pelan oleh mama saat hendak mengambil sepotong lalapan timun. Selalu begitu kalau kursi belum lengkap terisi. Tidak boleh ada yang makan duluan sampai semua keluarga berkumpul.
Menyebalkan! Mana sih si ratu satu itu?! Iya, sang peran utama di rumah ini. Ralat, si paling merasa peran utama di mana pun deh! Perempuan yang tidak lain merupakan kakaknya. Makhluk sempurna yang menjadi kesayangan di keluarganya.
Dia adalah Junifer, sosok yang kini tengah menuruni tangga kayu rumah minimalis berlantai 2 mereka penuh dramatis seakan tengah berjalan di red carpet. Dengan sleeveless ruffle blouse lilac yang dipadu rok mini berwarna senada serta heeled ankle boots putih, perempuan itu melangkah bak artis yang menyapa banyak Paparazzi.
"Hellooo, everyone!" Junifer melambaikan tangan ala Miss Universe pada semua orang di meja makan meski hanya si papa yang meresponsnya dengan penuh semangat bak penonton alay bayaran. Pria itu bahkan tidak lagi peduli dengan bintang utama di meja makan, nasi goreng tanpa kecap yang menjadi favorit semua orang di rumah. Kemudian sosok jelita tersebut menerawang seraya merentangkan kedua tangannya. "Selamat pagi, dunia! I'm ready—"
"Udeeeh, buruan sini! Gue lapar," potong Junior, keki.
Mengetahui pidatonya diputus secara paksa oleh sosok yang setiap hari berpenampilan seperti rakyat jelata, Junifer pun melempar tatapan sengit dan memegangi dadanya seakan ia tengah kecewa. "Sungguh tidak punya tata krama," sindirnya, lalu mengibaskan rambut panjang hitam bergaya wolf cut berponinya sambil melanjutkan langkah menuruni tangga.
"Ayo, Nini, dimulai doanya," ucap papa yang belakangan ini memang senang menyuruh anak sulungnya tersebut untuk memimpin doa.
Benar, Nini adalah panggilan Junifer yang memang dibuat khusus untuk keluarga, tepatnya setelah Junior lahir. Mengingat nama anak mereka sama-sama diawali dengan "Juni"—sekalipun tidak ada yang lahir di bulan Juni—mama pun memiliki ide untuk membedakannya dengan memanggil "Nini" untuk Junifer dan "Juju" untuk Junior. Meski begitu...
Semua orang mengenal perempuan itu sebagai Juni, the public enemy.
Waktu terus berputar. Mereka yang menyukai Juni sebelumnya, kini tidak lagi merasakan demikian. Bukan karena Juni tidak lagi seperti dulu. Sebaliknya, Juni lebih cantik, lebih mandiri, lebih tajir, lebih terkenal, dan lebih segalanya sekarang.
Namun, angin yang kencang memang akan selalu menerpa pohon yang lebih tinggi, bukan?
Lantas, bagaimana perasaan Juni setelah tahu akan fakta bahwa pandangan banyak orang berubah padanya? Oh, tentu saja tidak masalah! Prinsipnya adalah semakin banyak membenci, semakin banyak yang cemburu padanya, berarti semakin berhasil pula hidupnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mengejar Jodoh
RomancePrinsip Junifer adalah hidup suka-suka. Tidak pernah pusing akan apa pun, terlebih soal menikah yang bukan tujuan utamanya. Mau, tapi santai saja. Sampai seorang lelaki bernama William Laskar datang ke kantornya, biro jodoh terkenal di kalangan para...