BAB 11: Wait and See

5.5K 950 141
                                    

Usai memesan menu untuknya, Juni menyarankan William untuk memilih menu rekomendasi yang disukai orang-orang di restoran ini

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Usai memesan menu untuknya, Juni menyarankan William untuk memilih menu rekomendasi yang disukai orang-orang di restoran ini. Akan tetapi, ucapannya tidak dianggap serius. William justru memesan menu paling murah, baik makanan maupun minumannya.

"Lo nggak percaya sama selera gue?" protes Juni begitu pelayan yang mencatat pesanan mereka telah berlalu.

"Bukan begitu, tapi menu yang kamu rekomendasiin tadi itu terlalu mahal," balas William, apa adanya. Oke, dirinya memang tidak jarang melihat anak muridnya dibawakan bekal pasta oleh orang tua. Di kantin pun ada yang jual. Namun, rasanya tidak masuk akal jika dibandingkan dengan harganya. Bagaimana mungkin hanya untuk makan siang ia harus mengeluarkan biaya lebih dari 100K per porsi?

Juni memutar mata. "Kenapa mikirin harga, sih? Gue yang ajak lo ke sini. Gue traktir!"

"Masa aku dibayarin perempuan?" Bibir William sedikit cemberut.

Juni langsung berjengit saat mendengar pernyataan seksisme. "So what? Selagi gue punya, selagi gue yang mau. Nggak semua-semua harus selalu dari pihak laki-laki, ya! Gue bahkan bisa bikin acara nikahan sama lo besok kalau lo mau. Gue tajir, tahu!" tegasnya, lantas mengibaskan rambut.

"Iya, aku percaya." William terkekeh. "Kamu pasti nggak punya tanggungan apa pun, ya? Orang tua kamu pasti meratukan kamu banget."

"Gitu, deh." Juni mengangkat bahu. "Dan, bukan cuma bokap nyokap, tapi tante sama om gue pun begitu. Gue juga masih sering dikasih hadiah sama uang jajan sekalipun udah punya duit sendiri. Mereka sayang sama gue karena gue ponakan perempuan satu-satunya. Udah dianggap anak sendiri pokoknya. Enak, kan, jadi gue?" ujarnya, sombong.

"Iya, enak banget."

Kalau saja keduanya sedang tidak berhadapan, mungkin Juni akan keliru mengartikan respons William yang ternyata menyiratkan nada iri. Tampak dari sorot mata teduh lelaki itu yang tiba-tiba terasa hampa.

Baru saja ingin menambahkan agar William tidak perlu khawatir karena itu artinya Juni mandiri secara finansial dan tidak akan merepotkannya, sosok menjulang tersebut justru menyuarakan isi hatinya.

"Aku nggak begitu. Ayahku nggak bisa diharapkan. Sejak dia pergi pas aku masih SMP, aku merasa harus menghemat dan punya uang sendiri karena bunda nggak punya siapa-siapa lagi." William langsung mengatupkan bibirnya saat tahu bahwa ia baru saja oversharing pada Juni. "Maaf, nggak seharusnya aku cerita ke kamu," lanjutnya, salah tingkah.

Anehnya, Juni tampak tidak terkejut. Alih-alih menampilkan ekspresi demikian, Juni justru menaikkan sebelah alisnya dan mengabaikan penyesalan William barusan. "Ayah lo meninggal?"

"Ng ... bukan," respons William, cepat. "Dia cuma pergi. Nggak tahu ke mana."

Ya, William tidak berbohong atau hanya sekadar mencari simpati Juni. Untuk apa? Kenyataannya memang ia tidak memiliki sosok panutan yang pantas disebut kepala keluarga. Dan hal tersebut jugalah salah satu alasan mengapa William senang dengan lingkungan tempat tinggalnya yang sekarang. Tidak ada yang mau tahu akan kehidupan di kanan kiri rumahnya.

Mengejar JodohTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang