BAB 12: Di Balik Gitar

5.4K 936 171
                                    

William tersenyum geli sampai kedua matanya menyipit mendapati kelasnya begitu antusias membahas tata surya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

William tersenyum geli sampai kedua matanya menyipit mendapati kelasnya begitu antusias membahas tata surya. Tapi sedetik kemudian, raut wajah tampan itu kembali serius saat seorang siswi mengacungkan tangannya, semangat.

"Pak Will, Pak Will. Kenapa, sih, di luar angkasa itu gelap? Padahal, kan, ada matahari," ucap Zeicca, mampu membuat seisi kelas terdiam, ikut penasaran.

"Wah, pertanyaan bagus, Zei. Kira-kira, ada yang tahu nggak jawabannya?" William pun tersenyum manis tatkala kepala-kepala mungil itu menggeleng. "Baik. Pak Will kasih contoh mudahnya. Kenapa, sih, ruangan kelas kita ini bisa terang? Karena ada ..." William menggantungkan kalimat sambil menunjuk-nunjuk ke arah plafon.

"Lampuuuu!"

"Betul! Kita ibaratkan lampu sebagai matahari, ya. Dan isi kelas, kita ibaratkan kayak luar angkasa—"

"Aku mau jadi bintang!" potong Xafiero yang langsung ditatap sinis oleh Louvy.

"Pak guru, kan, lagi jelasin, jangan dipotong dong, Sapi! Lagian, enakan jadi matahari, tahu!" keki gadis berkuncir kuda itu.

"Ih, matahari, kan, nggak menarik sekarang. Kalau kata mamaku, diskonnya nggak sesering dulu," sambung gadis bernama Beirly yang duduk di belakangnya.

"Kita, kan, lagi bahas tata surya!"

"Hey, hey, stop! Mau Bapak lanjut nggak, nih, penjelasan tadi?" tegas William yang sanggup membuat anak-anak didiknya mengangguk patuh. "Oke. Jadi, ibaratnya ruang kelas ini adalah ruang angkasa. Kenapa bisa terang? Karena ada ..." William menunjuk-nunjuk dinding terdekat.

"Temboook!"

"Yes!" William tersenyum dan melanjutkan, "Cahaya dari lampu yang mengenai dinding itu memantul ke penglihatan kita. Sedangkan, di ruang angkasa itu hampa. Nggak ada dinding atau batas. Sederhananya, nggak ada 'wadah' yang bisa nangkap cahaya matahari di luar sana. Gimana, paham?"

Melihat tidak seorang pun anak mengangguk, William hanya tersenyum. Siap untuk memberi penjelasan panjang lebar yang lebih sederhana lagi agar mudah dicerna para muridnya.

Tidak masalah. Merasa haus karena tak henti bercuap-cuap terdengar lebih baik sekarang dibanding merasa gelisah akan pikirannya tentang Junifer Tan.

Ya, sudah seminggu berlalu sejak perempuan itu berjanji untuk datang Selasa lalu. Namun, hari demi hari berlalu, Juni tidak kunjung menampakkan batang hidungnya.

Ah, memang apa yang diharapkan dari sosok jelita sepertinya? Sudah William duga, Juni adalah tipe orang yang suka main-main dan tidak bisa memegang ucapannya. Juni adalah orang yang suka menggampangkan orang lain. Juni mengejarnya hanya untuk bersenang-senang.

Untungnya, William tidak begitu peduli. Harusnya.

Tapi, bahasa tubuhnya sendiri seolah berkhianat. Karena begitu bel pulang sekolah berbunyi, William terburu-buru berlalu tanpa menunggu kelas kosong terlebih dulu seperti biasa. Lelaki itu bahkan memperlambat langkah untuk mencuri-curi pandang ke arah pelataran parkir sebelum masuk ke ruang guru. Sampai di sana pun, William masih senantiasa menjulur-julurkan leher, menatap situasi luar yang terlihat dari balik jendela kantor.

Mengejar JodohTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang