"Ayo, Pak Will. Saya duluan ke lapangan, ya."
William hanya tersenyum dan mengangguk pada Dennis yang terlebih dulu berdiri dari tempatnya. Bukan hanya rekannya tersebut, ia juga sudah tidak sabar ingin bertanding futsal sejak selesai mengajar mengingat bel pulang untuk murid kelas 6 tentunya lebih lama. Jelas saja, selain karena bisa bermain bersama, William bisa sekalian berolahraga berhubung dirinya belakangan ini sudah jarang melakukan kegiatan yang sampai berkeringat.
Begitu Dennis telah menghilang di balik pintu ruang guru, pekerjaan William yang tadi sedang mengoreksi PR anak-anak pun selesai. Bergegas, lelaki itu merapikan meja sejenak sebelum merogoh setelan baju berbahan jersey dalam ranselnya yang memang sudah ia siapkan. Namun, baru saja William hendak menyusul Dennis, posisinya yang telah berdiri saat ini pun mampu menangkap jelas penghuni meja seberang di mana sosok Nirmala ternyata masih ada.
"Lho, Bu Mala, kok, belum pulang?" tanya lelaki itu, bingung.
Tubuh William yang memang menjulang, membuat Nirmala bisa menatap sosok tampan tersebut dari balik bilik mejanya tanpa berdiri. "Iya, belum, Pak. M-masih nunggu print selesai. Masih banyak soalnya. Takut besok pagi nggak keburu."
Kedua mata William sontak melirik printer yang memang tersedia khusus untuk para guru di ruangan ini. "Oh ..." Lelaki itu kembali menunjukkan senyum ramahnya pada Nirmala. "Kalau begitu, ikut gabung aja ke lapangan. Ada Bu Itin dan Bu Aini juga pada nonton. Daripada bengong di sini nunggu print selesai. Bisa ditinggal, kan?"
"B-bisa. Cuma saya mau langsung pulang habis ini. Takut kesorean, suka susah dapat ojeknya kalau jam-jam orang pulang kantor."
"Rumah Bu Mala memangnya di mana kalau boleh tahu?" tanya William, hati-hati.
"Ng ... nggak jauh dari sini."
William lagi-lagi tersenyum manis. "Gampang kalau gitu. Nanti bisa saya antarin."
"Nggak perlu!" sergah Nirmala, cepat. Terlalu cepat sampai William sedikit terkejut mendengarnya. Tidak ingin dicurigai, Nirmala segera meralat sambil pura-pura sibuk menata rambut yang menutup sebagian wajahnya. "M-maksud saya, nggak usah repot-repot. Saya nggak mau bikin sesama rekan nggak nyaman."
"Sebenarnya nggak apa, kok, Bu. Saya juga pernah antar Bu Itin pas suaminya lagi berhalangan jemput. Rumahnya malah lebih jauh dari sini. Tapi, kalau emang Bu Mala nggak nyaman, saya nggak maksa. Cuma nawarin aja tadi." William menunjukkan senyum lima jarinya, lalu mengangguk pelan. "Mari, Bu. Kalau bosan di ruangan nanti, jangan sungkan ke lapangan, ya."
Begitu William telah keluar dari ruangan, Mala bergeming di tempatnya dengan tangan terkepal di atas meja. Benci pada dirinya sendiri yang meragu serta tidak percaya diri ketika menghadapi William.
Tatapan hampa perempuan itu lantas terarah pada printer yang masih melakukan tugasnya. Dalam diam, ia membuat tekad untuk berubah demi menggapai tujuan yang selama ini sudah mati-matian ia perjuangkan. Dan dengan kemantapan hati, Nirmala pun berdiri dari tempatnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mengejar Jodoh
RomancePrinsip Junifer adalah hidup suka-suka. Tidak pernah pusing akan apa pun, terlebih soal menikah yang bukan tujuan utamanya. Mau, tapi santai saja. Sampai seorang lelaki bernama William Laskar datang ke kantornya, biro jodoh terkenal di kalangan para...