Juni melangkah pasrah sambil digandeng oleh William ke restoran yang dimaksud. Juni tahu ini adalah ide yang buruk. Biar bagaimanapun, Juni masih marah dan makan siang ini mungkin tidak akan berjalan lancar nantinya karena wajah cantik Juni yang terus memberengut. Namun, sial! Organ sialan! Hatinya ternyata tidak sekeras kepalanya. Hati Juni luluh berkat rentetan kalimat William bak siraman air dingin di dada.
"Kita duduk di sana."
Lagi-lagi, Juni hanya mengikuti William yang menentukan sendiri di mana mereka akan duduk. Padahal, biasanya Junilah yang memilih tempat karena William membebaskan ia mau duduk di mana. Dan di sinilah Juni sekarang, di meja paling ujung dekat jendela yang menghadap ke luar. Sementara Juni dipersilakan William untuk menempati bagian sofa yang mana menempel pada dinding, William sendiri duduk di salah satu kursi seberangnya. Meja itu memang didesain untuk 4 orang, tapi karena bagian sofanya menyambung dengan meja lain di samping-sampingnya, Juni memilih duduk agak tengah agar tidak terlalu lurus berhadapan dengan William, tapi William justru menggeser kursinya dengan mudah.
"Aku punya rekomendasi menu yang enak di sini. Aku pilihin itu, ya."
Sebelah alis Juni terangkat. William biasanya selalu membebaskan Juni, bahkan membuat Juni yang juga memilih menu untuknya. Namun, kali ini berbeda. "Jangan kepedean. Kalau gue nggak suka gimana?"
"Aku yakin aku tahu betul apa yang kamu suka dan nggak." William tersenyum manis. "Kalau kamu nanti nggak suka, kamu bisa kasih aku dan pesan yang lain. Aku pesanin kamu Fish and Chips karena ikannya terkenal lembut di sini."
Juni mengangkat bahu, tak acuh. "Terserah."
"Great!" Kemudian William bangkit dari kursinya saat ia tidak menemukan keberadaan pramusaji di mana pun. "Wait a second. Biar aku panggilin waitersnya."
Saat William sedang mencari-cari keberadaan pramusaji, lelaki itu tidak sengaja menabrak seorang perempuan yang terlihat familier. Dan saat kedua mata mereka bertubrukan, senyum manis langsung mengembang ...
Di wajah perempuan itu. Bukan William.
"Oh, hey, you! Apa kabar, Will?"
William mengangguk samar. "Baik."
Apa itu? Reaksi apa barusan? Ke mana senyum ramah yang selalu dilemparkan sosok menjulang tersebut pada orang-orang khususnya lawan bicaranya? Meski sejujurnya Kintan tidak mengharapkan William tersenyum padanya, tapi tetap saja William tidak biasanya sedingin itu. Paling tidak, kedua mata menampilkan sorot hangat yang membuat semua orang ingin berada di dekatnya karena merasa nyaman. Hal yang membuat Kintan dulu sempat jatuh hati dan nekat ingin bersaing dengan Juni karena William adalah laki-laki yang berbeda. Laki-laki yang membuat siapa pun tidak akan tersinggung berada di sampingnya.
Hmm, mungkinkah patah hati William mengubah segalanya? Bukan ia tidak tahu tentang masalah calon kakak iparnya yang tentu saja berasal dari ayangnya, Juju.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mengejar Jodoh
RomancePrinsip Junifer adalah hidup suka-suka. Tidak pernah pusing akan apa pun, terlebih soal menikah yang bukan tujuan utamanya. Mau, tapi santai saja. Sampai seorang lelaki bernama William Laskar datang ke kantornya, biro jodoh terkenal di kalangan para...