Hari sudah malam saat mobil Juni berhenti tepat di depan pagar rumahnya. Namun, bukannya membiarkan William segera turun agar tidak pulang terlalu malam, perempuan itu justru menahan dengan pertanyaan yang membuat William mematung di kursinya.
"Apa besok gue langsung bawa keluarga aja buat ketemu bunda lo?" Kemudian Juni melemparkan seringai yang ia pikir mampu membuat William bersemu kembali. "Sekalian lamar lo," lanjutnya sambil menaikturunkan alis.
Namun, dugaannya salah besar. Alih-alih bereaksi seperti yang dibayangkan, William justru terdiam dan menatapnya dengan pandangan serius. "Soal itu urusan aku."
"Huh?"
William tersenyum simpul. "Kamu boleh dekatin aku duluan, nembak aku duluan, dan sebagainya. Tapi soal lamar-melamar, itu jadi tugas aku, Nini."
Juni mengernyit. "Kenapa emang? Selama gue mampu, selama gue bisa, kenapa nggak?"
"Just because you can, doesn't mean you should," tegas William. Ini adalah kali pertama Juni melihat sisi lelaki itu. "Aku laki-laki. Aku yang bakal jadi pemimpin keluarga nanti."
Juni tidak berusaha menginterupsi. Ia hanya mengamati intens William yang kini menundukkan kepalanya, berusaha melanjutkan omongannya dengan sedikit merenung, "Aku tahu, aku beda. Kadang sifat aku nggak sesuai sama badan aku. Anehnya, suka begitu malah di depan kamu doang. Wibawa aku di sekolah dan di rumah, mendadak hilang. Tapi gimanapun, aku tetap laki-laki. Aku mau jadi laki-laki kamu. Aku mau kamu nggak cuma merasa nyaman sama aku, tapi juga aman."
Juni hanya bisa terpaku selama beberapa detik mendengar penuturan tulus dari William. Meski di awal terkejut karena atmosfer di antara keduanya mendadak jadi serius, Juni menikmati kesungguhan sang pujaan hati.
William membasahi kerongkongannya yang mengering. "Setelah lihat gimana ayah kamu dan keluarga kamu, aku semakin nggak mau berakhir kayak ayahku yang gagal jadi pemimpin dan pelindung keluarga. So, let me do that."
Mau tidak mau, Juni tersenyum penuh arti. Senyum yang belum pernah William lihat sebelumnya karena kedua mata tajam perempuan itu terasa ikut menghangat. "Gue nggak keliru soal lo sejak pertama kali kita ketemu. Dan maaf kalau lo merasa wibawa lo hilang di depan gue."
William mengulum senyum mendengarnya. "Senang kalau kamu udah nggak berat lagi buat minta maaf."
"Masih. Cuma sama lo pengecualian." Juni mengedipkan sebelah matanya. "Nggak sabar bikin lo jadi milik gue."
William cemberut mendengarnya. "Tadi siang katanya nggak usah pacaran dulu?"
"Iyalah! Apa gunanya kita pacaran kalau gue belum dapat restu nyokap lo?" Juni kembali keki. "Lagian, pacaran cuma status! Kalau lo udah kedengaran serius gitu sama gue, buat apalagi? Yang penting hati lo buat gue, hati gue buat lo."
"Takutnya kalau belum ada status, kamu nanti didekatin cowok lain. Kamu aja nyalahin aku karena nggak terima kamu segera, jadinya Kintan bisa dekatin." William mengembuskan napas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mengejar Jodoh
RomancePrinsip Junifer adalah hidup suka-suka. Tidak pernah pusing akan apa pun, terlebih soal menikah yang bukan tujuan utamanya. Mau, tapi santai saja. Sampai seorang lelaki bernama William Laskar datang ke kantornya, biro jodoh terkenal di kalangan para...