Gulita telah menyelimuti langit saat William dan Junior memutuskan untuk berhenti bertanding. Main gim memang tidak akan terasa, apalagi bersama orang yang sefrekuensi. Karena itulah, sebelum semakin betah, William berusaha tahu diri untuk pamit pulang sekalipun kedua orang tua Juni sama sekali tidak keberatan dengan keberadaannya.
Tanti bahkan sudah menyiapkan makan malam lebih untuk William saat anak-anak sedang sibuk bermain PS, sayangnya harus ditolak oleh lelaki itu karena bundanya juga sudah masak. William juga enggan membuat Widia di rumah kebingungan lebih lama karena anak sulungnya tersebut tidak kunjung pulang meski motornya sudah tiba.
"Aku pulang dulu, ya."
Juni tersenyum manis sambil mengantar William ke depan pagar. "Iya, Willy. Hati-hati."
"Aku nggak suka panggilan itu. Panggil yang lain aja," respons William, jujur.
"Kenapa, sih? Kan, cute."
"Justru itu. Aku nggak kelihatan berwibawa sebagai guru," ungkap lelaki itu, meskipun sesungguhnya...
Panggilan apa pun, kewibawaan seorang William Laskar tetap menguap jika disandingkan dengan Junifer Tan.
"Iya, deh. Panggil 'sayang' aja kayak biasa, ya?" Juni lantas mengecup ujung jemarinya dan meniupnya dari telapak tangan ke arah William. "Sampai nanti, Sayangku."
William bersyukur penerangan jalan di malam hari tidak seberapa, karena kalau tidak dirinya sudah kelimpungan menyembunyikan pipinya yang mungkin sudah merona. Yaaa, setidaknya mampu menyamarkan penglihatan Juni.
Duh, kenapa taksi online yang dipesan Juni belum kunjung datang, ya? William sudah capek dengan tingkah jantungnya yang kian absurd!
Seakan mengetahui kegelisahan William yang tiba-tiba menguasai lelaki itu, Juni pun berdecak. "Sabar! Driver-nya tadi bilang mau muter dulu buat isi bensin. Udah tipis soalnya."
"Rumahku nggak begitu jauh, kok. Tadi naik motor aja nggak lama, kan, sampainya?"
"Kan, buat Jaga-jaga kalau macet nanti. Lo mau bantu dorong mobilnya?" Juni memutar mata. "Tapi, harusnya nggak, sih, kalau lewat tol. Udah tenang aja. Buru-buru amat pengin pulang dari tadi?!"
Mendengarnya, William pun tersenyum kecut. Sesungguhnya, lelaki itu bukan kesal karena Juni kembali sewot sebab dirinya sudah terbiasa. Namun, panggilan "lo-gue" yang kembali Juni gunakan saat berbicara padanyalah yang membuat William tidak suka...
Tidak suka pada dirinya sendiri yang harus merasa kesal. Itu, kan, hak Juni!
"Karena aku udah seharian di sini. Aku juga udah puas mainnya."
"Iya, tapi main sama Juju!" Juni mendengkus. "Momen sama guenya cuma sebentar. Sisanya, lo asyik main PS sama dia. Jadi keenakan, tuh, dia hari ini."
Mau tidak mau, William terkekeh melihat Juni yang tampak keki kalau membahas Junior. "Nggak ada salahnya, kan, nyenengin adik?" Kemudian tangan William tanpa sadar terulur untuk menepuk-nepuk ringan puncak kepala Juni. "Jangan galak-galak sama Juju, Nini."
KAMU SEDANG MEMBACA
Mengejar Jodoh
RomancePrinsip Junifer adalah hidup suka-suka. Tidak pernah pusing akan apa pun, terlebih soal menikah yang bukan tujuan utamanya. Mau, tapi santai saja. Sampai seorang lelaki bernama William Laskar datang ke kantornya, biro jodoh terkenal di kalangan para...