"It's a damn cold night ... Tryin' to figure out this ... Won't you take me by the hand, take me somewhere new? Don't know who you are, but I ..."
Juni berusaha fokus pada nyanyiannya yang terdengar sedikit sumbang. Setidaknya, di pendengarannya sendiri. Tidak seorang pun melihatnya. Seperti biasa, seluruh tirai sudah ia tutup. Tidak ada sekelebat bayangan pun yang mampu mengusik konsentrasinya, tapi Juni tetap merasa belum sempurna.
Lanjut, Juni memetik gitarnya. Kali ini berusaha lebih rileks seolah-olah dirinya berada dalam ruang serba hitam. Tapi, hingga lagu selesai, Juni tetap merasa tidak puas. Sampai kapan ia mau begini terus?
Juni menarik napas dalam dan mengembuskannya secara perlahan. Oke, mungkin semua ini karena sugestinya di awal dirinya menjalani masa-masa SMP. Juni yang memang SD di Tangerang, saat itu sedikit kaget karena anak-anak Jakarta ternyata terlampau gaul. Setidaknya, begitulah menurut Juni yang sampai sekarang tetap melihat penduduk Jakarta seperti itu.
Semua itu pun menjadi kebiasaan. Pemikiran bahwa dirinya tidak bisa bergabung dengan mereka, tertanam di kepalanya dan membuat Juni memilih menghindar daripada merasa dijauhi nantinya.
Dan pemikiran negatif memang tidak baik untuk kelangsungan hidup. Karena sampai duduk di bangku kelas 9 begini, Juni masih merasa culun! Masih merasa semua orang lebih gaul dan lebih up to date darinya. Jakarta, oh, Jakarta. Seandainya orang tuanya punya rumah tetap dan bisa menetap di Tangerang, Juni pasti tidak akan merasa seperti ini sejak awal.
Dalam hati Juni berjanji untuk menjadi sukses kelak. Ia harus bisa membeli rumah lamanya dan membuat mereka bertahan di sana sampai selamanya. Rumah di Karawaci, masa-masa kecilnya.
Sayup-sayup, Juni mendengar seseorang memanggil nama temannya. Juni langsung sigap menurunkan gitar dari pangkuan, berjaga-jaga jika ada orang masuk nanti. Tapi, hingga menit demi menit berlalu, Juni hanya menghadapi sunyi. Bahkan, di luar pun juga tampak sunyi.
Juni melirik jam dinding kelas 8.E, ruangan yang saat ini dirinya gunakan, dan langsung terkesiap saat menyadari dirinya sudah bermain cukup lama. Lebih lama dari biasanya yang hanya butuh kurang lebih setengah jam sebelum benar-benar pulang ke rumah.
Gitar yang dipakainya adalah gitar milik sekolah sehingga Juni tidak perlu mengembalikannya ke mana pun karena setiap pagi, pasti ada piket kelas yang mengharuskan mengembalikan alat musik apa pun ke ruang guru. Juni cuma perlu meminta maaf dalam hati karena telah merepotkan siapa pun yang piket besok karena harus mengembalikan apa yang mereka tidak pinjam. Seperti biasa.
***
"Nando, tahu nggak siapa yang suka bawa gitar itu?"
"Hah?" Temennya menatap William dengan kening berkerut. "Nggak tahu gue. Tapi bukannya sekolah punya gitar sendiri? Ngapain bawa gitar?"
William memiringkan kepalanya pada Nando yang cukup gaul di sekolah. Bayangkan, Nando yang masih kelas 7 sudah bisa mendekati Melanie, murid 9.A yang cakep banget itu! Artinya, Nando pasti lebih tahu apa pun dibanding dirinya. "Yang suka nyanyi?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Mengejar Jodoh
RomancePrinsip Junifer adalah hidup suka-suka. Tidak pernah pusing akan apa pun, terlebih soal menikah yang bukan tujuan utamanya. Mau, tapi santai saja. Sampai seorang lelaki bernama William Laskar datang ke kantornya, biro jodoh terkenal di kalangan para...