BAB 38: Semangat untuk Juni

4.6K 887 93
                                    

William mengaduk sup jagung dalam panci sambil senyum-senyum berkat keputusan mendadak Juni yang tidak lagi menggunakan "lo-gue" saat berbicara dengannya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

William mengaduk sup jagung dalam panci sambil senyum-senyum berkat keputusan mendadak Juni yang tidak lagi menggunakan "lo-gue" saat berbicara dengannya. Ya ampun, rasanya William sedikit berdosa karena berbahagia di saat Juni justru sedang bersedih. Tapi, ia tidak bisa memungkiri bahwa hal sederhana seperti itu saja mampu membuat kupu-kupu dalam perutnya meliar.

"Are you done yet?"

William sontak menoleh pada Juni yang berdiri di perbatasan dapur dan ruang makan. "Oh, sebentar lagi, ya. Kamu udah lapar?"

Juni menggeleng. "Cuma mau ditemanin."

William tersenyum sampai kedua matanya ikut menyipit. "Sebentar, ya, Nini. Supnya bentar lagi matang, kok," ujarnya yang membuat Juni mengangguk dan kembali berbalik badan, ke tempat semula.

Tidak butuh waktu lama lagi bagi William keluar dari dapur untuk menyiapkan hidangan yang telah dibuatnya di atas meja makan keluarga Juni. Sekalipun menunya sederhana, hanya sup jagung yang didampingi oleh telur dadar, mengingat bahan-bahan di kulkas Juni yang sedang terbatas dan waktu memasak William yang tidak bisa terlalu lama karena perut Juni pasti segera butuh asupan supaya berenergi, William yakin Nininya akan lahap. Biar bagaimanapun, ini adalah menu andalan yang kerap dibuatnya untuk Windy kalau sedang sakit. Gadis itu langsung nafsu makan karena rasanya yang nikmat ditenggorokan.

"Sup jagung bukannya udah pakai telur? Kok, buat telur dadar juga?" tanya Juni yang sudah duduk di salah satu kursi meja makan.

"Biar ada lauknya. Kamu harus kuat buat besok."

Juni mengernyit. "Besok?"

Usai sajian di atas meja tertata rapi, William pun bergabung dengan duduk di seberang perempuan itu. "Kamu nggak mungkin terus-terusan lari dari masalah, Nini. Ada orang-orang yang bergantung sama kamu," ucapnya.

Meski intonasi William terdengar lembut dengan sorot mata teduh, tetap saja Juni merasa seperti terdesak. "Aku belum siap. Aku belum tahu harus apa."

William tersenyum. "Nggak akan ada orang yang pernah siap ngehadapin masalah yang belum pernah dia lewati. Percaya, deh, kalau kamu cuma kaget sama situasi karena sebelumnya hidup kamu selalu mulus sebelum ini."

Juni menunduk dalam. Menatap hampa pinggiran meja makan di hadapannya. "Rumah Jodoh ini berarti banget bagi aku. Siapa pun yang udah nyebar berita itu, pasti tahu betul kalau ini kelemahan aku."

Tidak ingin Juni kembali bersedih, William pun mulai mengambilkan sepiring nasi dan sepotong telur dengan semangkuk kecil sup jagung yang terpisah. "Here. Kamu butuh energi," ucap lelaki itu sambil menyodorkan makanan untuk Juni. Namun, mendapati Juni yang tidak antusias menyambut apa yang telah disiapkannya, William menambahkan, "Ayo, dimakan. Seenggaknya, buat aku dan orang-orang yang bergantung sama kamu, kamu harus sehat. Atau mau aku suapin?"

Sebelah alis Juni terangkat. "Bukannya kamu harusnya jaga jarak minimal 3 meter?"

Mendadak, pipi William pun bersemu. Menyadari bahwa lebar meja makan bahkan hanya mencapai 1 meter, lelaki itu pun bangkit dari tempatnya dan melangkah mundur sampai punggungnya membentur pelan dinding di belakangnya. "Udah nggak bisa lebih jauh lagi. A-aku perlu mantau kamu sampai nasi yang aku ambilin habis soalnya," ujar William, berusaha keras menutupi salah tingkahnya.

Mengejar JodohTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang