Windy langsung tersenyum lebar pada perempuan cantik di hadapannya begitu ia membuka pintu. "Eh, ada Mbak cantik!"
Jika dulu dirinya tidak akan suka dipanggil begitu, kini Juni akan mempertimbangkan untuk terbiasa. Terlebih, cara adik dari William saat menyambutnya benar-benar terkesan antusias. "Bonjour! Williamnya ada?"
Windy tidak menjawab. Gadis itu melirik ke samping sejenak karena kebingungan merespons, sebelum sedikit bergeser untuk memberi ruang pada seorang wanita yang Juni duga sebagai bunda William.
"Ada apa, ya?"
Senyumnya langsung mengembang. Tanpa peduli wajah ketus wanita itu, Juni mengulurkan tangan dengan penuh percaya diri. "Hai, Tante! Aku Juni. Junifer Tan, calon pacar William."
Tatapan wanita di hadapannya lantas menurun dari ujung rambut hingga ujung sepatu boots Juni yang runcing. Tidak seperti yang lalu, sekarang perempuan itu sedikit sopan karena mengenakan dress yang tidak terlalu pendek meski tetap tanpa lengan. Setidaknya, menutupi pusar!
"Widia, bundanya William," balasnya, turut mengenalkan diri secara singkat tanpa berniat membalas uluran tangan Juni. "Mau apa ke sini? Kami sekeluarga lagi makan bersama dengan calon istri William. Sini, Nak Kintan. Perkenalkan diri kamu," lanjutnya, mengalihkan perhatian pada Kintan yang kini berdiri di antara Windy dan Widia.
Wanita itu tidak peduli. Justru, dirinya sengaja berbuat demikian agar Juni tersinggung dan merasa kehadirannya tidak dibutuhkan. Widia ingin Juni segera pergi dari hadapan mereka agar bisa kembali menikmati kebersamaan dengan Kintan.
Namun, alih-alih merasa demikian, Juni justru kembali mengulurkan tangannya untuk Kintan dan melayangkan senyuman penuh percaya diri. "Juni."
Berbeda dengan Widia, Kintan bersedia menjabat tangan Juni meski tidak ada senyum di wajah manisnya. "Kintan," balasnya singkat, sebagaimana perkenalan Juni padanya.
Meski Juni telah menarik tangannya, pandangan perempuan itu tetap tertuju lurus, tidak lepas pada kedua mata bundar milik Kintan. "As-tu prépare une excuse pour quand tu perdre (sudahkah kamu menyiapkan alasan untuk kalah)?" gumamnya, sambil menopang dagu.
Kintan tidak tahu apa yang dikatakan Juni. Walaupun senyum tipis masih bertengger di wajah jutek itu, Kintan yakin sepenuhnya bila kalimat yang Juni lontarkan bukanlah kalimat ramah untuknya.
Seakan mengetahui isi kepala Kintan, Widia pun berusaha membela sang calon menantunya dengan mengusir Juni, "Sudah, sudah. Kami mau lanjut makan. Kamu lebih baik pulang."
"Kok, Mbak Cantiknya disuruh pulang, Bun? Kursi, kan, masih ada yang kosong. Lagian, Mbak Cantik juga tamunya Bang Will. Ajak makan juga aja," ucap Windy yang membuat kedua mata Widia mendelik karena tidak menduga si bungsu akan berani membela Juni di depan Kintan secara terang-terangan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mengejar Jodoh
RomancePrinsip Junifer adalah hidup suka-suka. Tidak pernah pusing akan apa pun, terlebih soal menikah yang bukan tujuan utamanya. Mau, tapi santai saja. Sampai seorang lelaki bernama William Laskar datang ke kantornya, biro jodoh terkenal di kalangan para...