Sejak kejadian papasan dengan Andin itu, Aldebaran jadi cenderung lebih suka jalan-jalan di area rumah sakit.
Alasannya sih, bosan di kamar terus. Padahal ya apalagi kalau bukan untuk mencari dokter cantik itu.
Seperti sore ini, Aldebaran lagi-lagi bertemu Andin saat sedang jalan menuju kantin. Andin berjalan bersama sahabatnya, Rania.
Senyum manis Aldebaran tidak pernah ketinggalan tiap berjumpa dengan Andin, dimanapun. Meski Andin selalu merespon ala kadarnya, namun itu tidak membuat Aldebaran getir sedikitpun. Justru dirinya semakin penasaran dengan dokter yang selalu membawa stetoskop berwarna ungu muda itu.
"Dok..."
"Mari pak.." jawab Andin singkat sambil terus berjalan.Ini adalah kali pertama Rania melihat Aldebaran, pria yang bahkan belum ia ketahui namanya. Walau begitu, Rania bisa merasakan bahwa pria itu tertarik dengan sahabatnya, sekalipun belum pernah mengenal sebelumnya.
"Cieee dokter Andin.." ucapnya sambil menyenggol lengan Andin.
"Apaan sih?""Ihhh, ternyata lo gak berubah ya daridulu. Sama pasien peka banget, giliran sama cowok boro-boro peka, dilirik aja gak."
"Ngomong apa sih, gue gak ngerti.""Ndin ndin, lo tuh gak boleh terlalu cuek jadi cewek. Harus belajar buka hati sama cowok, jodoh kan bisa dateng darimana aja."
"Kayaknya percuma gue buka hati, kan ujungnya juga yang nentuin nyokap gue hehe.."
Raut wajah Andin seketika berubah. Entah apa yang sebenarnya terjadi antara dia dengan keluarganya.
Rania yang tahu betul tentang perjalanan sahabatnya itu langsung merasa bersalah. Meski sebenarnya juga tidak ada niat pembicaraan ke arah sana, tapi ia paham bahwa ucapannya barusan membuat Andin teringat akan trauma masa lalunya.
"Aduhh, salah ngomong gue." batin Rania.
"Bu-bukan gitu maksud gue ndin.."
"Udahlah Ran, gapapa kok, emang gitu kan kenyataannya?"Andin tersenyum. Sebab memang hanya itu yang bisa ia lakukan daridulu untuk menutupi semua lukanya.
Tidak tahu sudah sebesar dan sedalam apa luka yang dimiliki oleh Andin. Bercerita dengan Rania juga sebenarnya cuma untuk meluapkan emosinya sesaat. Selebihnya? Luka itu dibiarkan terbuka dan hanya ditutupi dengan senyuman.
"Ndin, gue minta maaf yaa, gue sama sekali gak ada maksud ke arah sana."
"Gapapa Ran, santai. Udah, kita lupain aja ya."***
Pria berkulit sawo matang itu masih setia menemani adiknya di dalam ruang rawat. Duduk di sebuah sofa berwarna coklat, sambil menatap laptopnya.
"Al, gue kapan bisa pulang sih? Udah bosen banget disini."
"Suruh siapa pake kecelakaan segala.""Yeee, kalau gue gak begini, mana mungkin lo bisa ketemu Andin, tiap hari lagi.."
Aldebaran melirik tajam ke arah adiknya yang tampak sedang tersenyum mengejek itu.
"Iya juga sih.." batinnya.
"Harusnya makasih lo sama gue Al.."
"Gak jelas!" ucap Al judes."Dih, lo pikir gue gak tau? Kerjaan lo tiap hari kalo gak melamun ya cengar cengir sendiri, ngeri lo gila aja sih gue."
KAMU SEDANG MEMBACA
Luka dan Rumahnya -Aldebaran & Andin-
General Fiction"Hadirnya kamu buat aku sadar, kalau luka itu bisa pulih ketika menemukan 'rumah' yang tepat." - Andini Zafira Pratama *** Aldebaran Rahardja, seorang pria bertubuh tinggi yang namanya tidak asing, terlebih bagi kalangan pengusaha kelas atas. Berbed...