45. Hello, Alisha! (THE END)

944 136 12
                                    

Usia kandungan Andin kini sudah memasuki 38 minggu. Setiap hari terasa semakin mendebarkan, baik bagi Andin maupun Aldebaran. Mereka berdua telah mempersiapkan segalanya untuk menyambut kelahiran anak pertama mereka.

Kamar bayi sudah tertata rapi dengan semua perintilannya, pakaian bayi sudah dicuci bersih dan tersusun dalam lemari, juga hospital bag yang sudah disimpan dalam mobil.

Setiap pagi, Andin dan Aldebaran menjalani rutinitas baru. Mereka sering berjalan pagi di taman dekat rumah untuk sekedar menikmati udara segar. Aldebaran selalu memastikan Andin dalam kondisi baik dan tidak terlalu lelah. Ia juga memastikan Andin tidak melewatkan satu pun vitamin dan nutrisi yang diperlukan.

"Are you happy?" tanya Aldebaran saat mereka duduk di bangku taman, memandang langit pagi yang cerah.

"Happy mas, semakin hari makin gak sabar buat ketemu dia nih.. Ya meski ada takutnya juga sih." jawab Andin sambil mengusap perutnya.

"Takut kenapa?"
"Takut pas lahiran nanti, aku bisa gak ya mas? Kalo aku gak kuat gima—"

"Ssstttt, kok ngomongnya gitu sih?"
"..."

"Hey, semuanya akan baik-baik aja, percaya sama saya. Kamu itu jauh lebih hebat dari apa yang kamu pikir, saya janji akan selalu ada di samping kamu. Kita hadapi sama-sama ya?" ucap Al sambil menggenggam tangan Andin dengan lembut.

***

Hari-hari berlalu, perut Andin semakin besar dan gerakan bayi di dalam rahimnya semakin terasa. Kadang-kadang, Andin merasakan nyeri ringan yang datang dan pergi, tanda bahwa tubuhnya sedang bersiap-siap untuk persalinan atau biasa disebut dengan kontraksi palsu. Dokter mengatakan bahwa itu adalah hal yang normal, bagian dari proses tubuh menuju persalinan.

Suatu malam, saat Aldebaran masih terlelap, Andin terbangun karena ingin buang air kecil. Ia berjalan pelan menuju kamar mandi dengan harapan tidak membangunkan suaminya yang baru saja tidur dua jam lalu akibat lembur bekerja. Namun, ketika baru sampai di kamar mandi, tiba-tiba Andin merasakan ada cairan yang mengalir di kakinya. Rupanya ketubannya pecah.

Andin terdiam sejenak, merasa panik dan cemas dalam waktu bersamaan. Ia menahan napas, berharap nyeri yang muncul bukan kontraksi dan hanya rasa tidak nyaman biasa.

Tetapi, dalam beberapa menit, nyeri itu terasa semakin kuat dan intens. Andin mencoba untuk tetap tenang dan tidak langsung membangunkan Aldebaran yang terlihat sangat pulas.

Andin kembali ke kamar tidur, mencoba mengatur nafasnya. Sesekali, ia duduk di gymball untuk meredakan rasa sakitnya. Namun, kontraksi semakin kuat hingga Andin tidak mampu menahannya lagi. Akhirnya, ia memutuskan untuk membangunkan suaminya.

"Mas... Mas, bangun mas.." ujarnya dengan suara lembut, meski matanya menahan sakit.

Aldebaran terbangun dengan kaget, melompat dari tempat tidur begitu melihat Andin yang sudah merintih kesakitan.

"Ndin, kamu kenapa hah? Perutnya sakit?" tanyanya panik.

"Kayaknya mau lahiran deh mas, ketubannya juga udah pecah tadi." jawab Andin sambil meremas tangannya erat.

"Astagfirullah kenapa kamu gak bangunin saya ndin?"
"Aku gak tega mas, kamu nyenyak banget tidurnya."
"Saya lebih gak tega liat kamu kesakitan gini."

Aldebaran berusaha tetap tenang, meskipun hatinya sudah berdebar kencang. Tanpa berpikir panjang lagi, ia langsung meraih jaketnya dan bersiap untuk berangkat ke rumah sakit.

"Kita ke rumah sakit sekarang ya." katanya dengan suara tergesa-gesa.

Meskipun sedang dalam rasa sakit yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata, Andin masih berusaha untuk tidak membuat suaminya semakin panik.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 07 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Luka dan Rumahnya -Aldebaran & Andin-Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang