44. Long Distance Marriage

710 132 10
                                    

Andin duduk di ujung tempat tidur, menatap kosong ke arah jendela yang terbuka lebar. Moodnya sedikit kurang baik pagi ini sebab Aldebaran harus pergi keluar kota untuk urusan kerjaan.

Sebetulnya Andin ingin sekali ikut, tetapi dokter tidak mengizinkannya karena usia kehamilannya sudah memasuki trimester tiga sehingga tidak disarankan untuk bepergian jauh, apalagi naik pesawat.

Aldebaran duduk di samping Andin dan mencoba memberikan pengertian lagi. Ia memegang tangan istrinya dengan lembut, menatap wajahnya yang terlihat muram.

"Hey? Kok diem terus dari tadi, kenapa sayang?"

Andin menghela nafas dalam-dalam. Sebenarnya, ia paham betul alasan sang suami harus pergi, tetapi perasaan sedihnya tidak bisa dihindari.

"Harus pergi banget ya kamu, mas?" tanyanya dengan suara sedikit teriris, matanya mulai berkaca-kaca.

Aldebaran menarik nafas panjang, memahami kekhawatiran istrinya yang terlihat jelas dari sorot matanya.

"Iya kan udah janji dari bulan lalu, ndin. Saya gak enak kalau diundur terus. Saya mau nyelesaiin semua kerjaan saya sebelum anak kita lahir, biar nanti kalau dia udah lahir kita bisa jagain bareng-bareng." jawab Al sambil menatap Andin dengan penuh pengertian.

Andin menoleh dan memandang suaminya dengan ekspresi campuran antara sedih dan bahagia karena memiliki suami yang begitu perhatian.

"Janji jangan lama-lama ya."
"Iya, cuma sehari kok. Yang penting saya udah ketemu langsung sama clientnya, kalau belum selesai nanti biar Rendy aja yang stay di sana."

Aldebaran mengusap lembut kepala Andin sambil tersenyum, "Jangan sedih ya, saya janji akan segera pulang."

Andin menarik nafas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri kemudian mengangguk.

"Vitaminnya jangan lupa diminum ya, jangan telat makan juga. Kalau butuh apa-apa minta tolong bibi, jangan semuanya dilakuin sendiri. Inget perutnya makin besar itu."
"Iya sayang, kamu hati-hati ya, kabarin aku terus." ucap Andin.

"Pasti saya akan selalu kabarin kamu kalau ada kesempatannya."

Mereka berdua saling berpelukan. Andin menengadahkan wajahnya dan menatap suaminya dengan mata teduhnya. Andin merasa lega, meskipun hatinya sedikit berat karena harus berpisah sementara dengan suaminya.

Setelah beberapa saat, Aldebaran akhirnya beranjak dan mengambil koper kecilnya.

"Saya berangkat sekarang ndin, udah ditungguin Rendy di depan. Kamu jaga diri baik-baik ya, titip anak saya.." ucapnya kemudian mencium perut istrinya dengan penuh kasih sayang.

Andin mengangguk pelan, senyum tipis menghiasi wajahnya. "Iya, mas. Hati-hati ya, aku tunggu kamu di rumah."

Aldebaran melangkah keluar dengan hati yang berat, sedangkan Andin menatap punggung suaminya yang semakin menjauh dengan air mata yang tidak bisa dibendung lagi. Namun meski harus berpisah sejenak, mereka tahu bahwa mereka selalu bersatu di dalam hati.

Aldebaran pun berangkat bersama Rendy ke bandara. Sebelum itu, Andin sempat berbicara dengan Rendy saat sang suami sedang berada di toilet.

"Pak Rendy, titip mas Al ya. Tolong ingetin untuk minum vitamin juga, suka lupa dia soalnya."
"Baik bu, nanti akan saya ingatkan."

"Oiya kalau bisa, tolong fotoin mas Al juga ya, tapi diam-diam aja jangan sampai dia tau." kata Andin sambil tersenyum kecil.

Rendy mengangguk sambil tersenyum, "Baik, bu Andin."

...

Sesampainya di bandara, Aldebaran segera mengabari Andin bahwa dia sudah sampai.

Luka dan Rumahnya -Aldebaran & Andin-Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang