04 Perfect Pain
.
Sekembalinya Elena dari toilet, ponselnya berdering. Menemukan nama Alya tertera pada layar, ia segera mengangkat, "Halo, ada apa, Alya?'"
"Asisten Pak Kaisar menemuiku tadi. Dia berpesan agar kamu menemui Pak Kaisar di ruangannya," balas Alya.
Kedua bola mata Elena berputar malas. Ada urusan apa Kaisar memanggilnya? Bila untuk membahas kejelasan jalannya pernikahan mereka, ia akan datang dan mendengarkan. Bisa jadi, kemarin Kaisar hanya sedang dilanda amarah dan kekecewaan hingga melampiaskan pada Elena yang tak bersalah.
"Baik. Aku segera ke atas. Maaf, karena ini aku tidak bisa makan siang bersamamu," sesal Elena.
"Tidak apa-apa kok, lain kali saja,. Aku akan makan siang dengan Jehan."
Sambungan terputus usai Elena membalas dengan salam perpisahan.
Elena menarik nafas dalam, lalu menghembuskannya pelan. Ia melangkahkan kaki menuju lift. Berdiri untuk beberapa saat, menunggu lift berhenti di tempatnya berpijak. Beberapa orang keluar dari lift. Elena berhadapan dengan mereka, ia menyadari orang-orang itu kini menatapnya berbeda. Dulu Elena tak sampai diperhatikan sedemikian rupa. Meski sepupu dari tunangan Kaisar, Elena hanya dipandang sama dengan pegawai lain. Sekarang semua orang dalam perusahaan mengenalnya sebagai istri Kaisar, CEO dari Living With.
Dalam tangan Elena hanya terdapat dompet serta ponsel. Kedua tangannya cukup berkeringat dalam suasana sejuk oleh hembusan pendingin. Tungkainya membawa Elena beranjak, melangkah ke sebuah ruangan untuk orang dengan kedudukan tertinggi. Elena mengetuk pintu, ia masuk saat pintu dibuka dari dalam.
Perempuan itu mematung. Di depannya Kaisar berdiri dengan kemeja berwarna moka serta celana kain hitam. Di pinggangnya tersemat gesper hitam mengkilap. Elena tahu merek gesper yang tengah Kaisar kenakan sangat terkenal akan harganya yang mahal.
"Masuk!" Kaisar menggeserkan badannya ke samping, mempersilakan Elena masuk.
Mata Elena mengamati setiap sudut ruangan yang memiliki interior mewah dan elegan, memadukan nuansa modern minimalis dengan sentuhan kemewahan. Dinding berwarna netral dan bersih menciptakan latar belakang yang tenang, sementara furnitur utama, seperti meja kerja dengan desain minimalis dan permukaan glossy, memberikan kesan mewah. Kursi kulit berwarna netral yang ergonomis menyempurnakan tata letak meja, menciptakan area kerja yang fungsional dan stylish. Di sebelahnya, sofa modern dengan bahan berkualitas tinggi menawarkan tempat duduk yang nyaman untuk menerima tamu. Pencahayaan terfokus dan elemen dekoratif yang selektif memberikan kesan ruang kerja yang elegan, sederhana, namun tetap mengesankan.
Elena berbalik, menyaksikan Kaisar yang telah mengunci pintu, lalu melewatinya untuk meletakkan kunci di meja kerja. Pria itu duduk di salah satu sofa. Pada meja tepat di depannya yang tersaji dua porsi makanan berat serta air dingin.
"Kenapa diam di sana?" Kaisar bersuara.
Elena tersadar dari lamunan. High heels yang ia kenakan menghentak serta menimbulkan suara. Elena duduk di sofa yang lainnya, berada cukup jauh dari Kaisar.
"Ada urusan apa kamu memang-"
"Makan!" Satu kita itu berhasil menghentikan Elena.
Elena menggeleng. Ia tak tertarik dengan hidangan di depan mata. Ada hal yang ingin ia bicarakan dengan lelaki di depannya ini.
"Kamu tidak mau makan, Clara?"
Nama itu disebutkan lagi untuk memanggilnya. Elena menahan diri agar tidak menimbulkan amarah. "Kaisar, kita harus membahas pernikahan ini. Kita sama-sama tahu apa yang telah terjadi. Aku mohon mengertilah!"
Salah satu ujung bibir Kaisar tertarik. Sorot matanya melihat Elena skeptis. "Bukankah kemarin aku sudah membahasnya? Apa kamu lupa atau belum mengerti?"
Kaisar bangkit dari sofa. Melangkah pelan pada Elena yang merasa terintimidasi. Tangannya yang besar menyentuh kepala Elena dan mengusap lembut hingga ujung rambut. Kaisar berhenti di bawah telinga, ibu jarinya mengusap bibir bawah Elena dengan mata berkabut amarah.
Punggung Elena mengenai sandaran sofa yang empuk akibat pergerakkan Kaisar yang menghimpitnya agar lebih dekat. Ujung hidung mereka saling bersentuhan, aroma maskulin yang menguar di sekelilingnya malah menciptakan rasa tak nyaman. Jantung Elena berpacu amat kuat. Jemari Kaisar pada bibirnya seolah memberikan sengatan kecil yang menjalar ke sekujur tubuhnya.
"Bersikap sebagai Clara. Apa sulit buatmu?" Kaisar berkata dengan suara rendah. Elena hendak berpaling akan tetapi, lelaki itu menahannya. "Kamu tahu. Clara paling suka dengan ciuman ku."
Elena mencoba mendorong tubuh jangkung tersebut. Tak sedikit pun membuat Kaisar mundur. Jemari lelaki itu kini berada di ujung bibir.
"Aku bukan Clara. Aku tidak suka kamu cium," balas Elena dengan pandangan mata menuju bawah. Tak ingin ia membalas tatapan suaminya. Elena mendongak ketika Kaisar mengangkat dagunya. Bibir mereka bertemu dan bersentuhan. Kaisar memagut bibir itu dengan mulut terbuka, salah satu tangannya menahan lengan Elena yang hendak melawan.
"Aku tidak tahu mengapa Clara mengkhianatiku. Apa sejak awal dia tak pernah mencintai ku?" Kaisar bertanya dengan gerakkan terus menuntut Elena untuk disentuh olehnya. Pria itu mengurung Elena dengan tubuhnya, membawa sang istri untuk berbaring dan menjadikan lengan sofa sebagai bantal.
Kecupan basah ia berikan meski Elana tak membalas hal yang sama. Kaisar menarik wajahnya menjauh, menatap perempuan dengan kulit putih yang memerah dan terengah. Pemandangan yang cukup ia nikmati, meski bukan dengan wanita yang seharusnya menjadi istrinya. Kaisar tahu, tapi ia pun tak mengindahkan.
Di KaryaKarsa udah part 14!
Jgn lupa votenya. 🫶
KAMU SEDANG MEMBACA
Perfect Pain
RomanceBagi Elena, pernikahan bersama Kaisar hanyalah sebuah pengorbanan untuk balas budi.