45 Perfect Pain
.
Keesokan harinya Elena merasa tubuhnya menjadi lebih baik. Sakit kepala yang dialami setelah turun dari pesawat telah mereda sejak kemarin sore ketika ia terbangun dari tidur siangnya yang cukup panjang. Akan tetapi, Elena yang malas keluar memilih untuk mendekam di kamar bersama Kaisar. Mereka menghabiskan waktu kemarin untuk beristirahat.
“Apa sekarang tubuhmu membaik?” tanya Kaisar seraya membelai kepala Elena yang berbantalkan tangannya. Kala itu mereka baru bangun pagi, bahkan matahari pun belum muncul.
“Iya. Terima kasih untuk obatnya,” jawab Elena. Ia sadar bahwa di luar masih gelap. Tampaknya mereka terbangun pada waktu fajar karena malam tadi tidur lebih awal. Meskipun telah tidur siang, malam tadi Elena masih merasa cepat sekali mengantuk. Mungkin efek obat.
Kaisar tersenyum, lantas mengecup pelipis istrinya. “Bagaimana kalau kita keluar untuk melihat matahari terbit?”
Elena mengangguk kecil, lantas beranjak dari kasur, lalu merenggangkan tubuhnya sejenak sebelum melangkah menuju teras. Di belakangnya Kaisar tersenyum melihat Elena yang langsung meninggalkannya ke teras belakang.
Kaisar pun ikut beranjak, kemudian menyibak tirai yang menghalangi pemandangan. Dari tempatnya berdiri ia dapat melihat Elena yang duduk di salah satu kursi menghadap pemandangan laut yang sedikit membiru dan keorenan. Sangat indah untuk dipandang.
Pria itu keluar dengan membawa dua gelas cangkir berisikan kopi hangat. Ia meletakkannya di atas meja yang ada di hadapan kursi.
“Terima kasih,” ucap Elena. Jemari lentiknya mengambil cangkir tersebut dan mulai minum.
Mereka sama-sama tak bersuara menunggu matahari muncul dari ufuk timur. Seolah mereka sepakat untuk diam menikmati segarnya udara pagi.
Hingga secara perlahan matahari pun mulai naik. Elena menyukai lukisan tuhan yang begitu indah di hadapannya. Ia menghayati keindahan tersebut hingga mampu melupakan sebentar masalah yang ia alami.
Sementara Kaisar memperhatikan hal yang berbeda. Dalam diamnya ia menatap raut wajah Elena yang begitu terkesima dengan apa yang wanita itu lihat. Rambut bergelombangnya yang terurai, hidung mungil yang mancung, mata kecokelatan yang lebih indah karena sinar matahari, serta bibir mungil yang tersenyum. Kaisar lebih tertarik untuk menatapnya.
“Pemandangannya sangat indah,” ucap Elena berdecak kagum.
“Iya. Sangat indah.”
Elena melirik ke sampingnya, tak begitu memahami ekspresi Kaisar saat ini. Elena menyodorkan ponselnya.
“Aku mau berfoto. Tolong fotokan aku!” kata Elena tanpa menunggu persetujuan menyerahkan ponselnya pada Kaisar. Ia melangkah cepat ke ujung teras dan mulai berpose membelakangi kamera.
Gaun hitam di bawah lutut serta rambutnya yang terurai di terpa angin laut, menambah kesan indah saat dipotret. Kaisar merogoh saku untuk mengambil ponselnya, dengan dua ponsel ia memotret Elena yang berpose anggun dengan tawa merdu yang dapat Kaisar dengar. Sebelum Elena berbalik, Kaisar kembali menaruh ponselnya di saku celana pendek yang ia kenakan.
“Boleh aku lihat?”
Kaisar mendekati wanita itu, lalu menyerahkan ponselnya.
“Wah, bagus sekali. Terima kasih,” ucap Elena senang.
“Aku juga ingin berfoto.”
Elena mendongak, ia pikir Kaisar tak akan suka hal semacam ini. “Mana ponselmu?”
KAMU SEDANG MEMBACA
Perfect Pain
RomanceBagi Elena, pernikahan bersama Kaisar hanyalah sebuah pengorbanan untuk balas budi.