19. Perfect Pain

13K 695 24
                                    

19 Perfect Pain

.

"Tidak apa-apa. Hanya sedang berpikir makanan mana yang ingin ku makan," jawab Elena datar. Ia memutuskan kontak mata dengan Kaisar yang duduk berseberangan dari kursinya. Menelisik pada makan malam yang tersaji di depan mata.

Kenapa sih dia duduk di situ? Mengganggu pemandangan saja.

Elena menyendok nasi serta beberapa lauk lainnya, tanpa peduli pada kehadiran Kaisar. Bahkan ia makan tanpa menawari pria itu terlebih dahulu. Biarlah ia terlihat seperti perempuan kelaparan dan tidak sopan. Elena tak peduli penilaian Kaisar, ia masih kesal dengan kejadian di kolam renang.

"Aku dengar Tisya sering menemui mu."

Kepala Elena mendongak, ia segera menelan makanan di mulutnya.

"Tidak sering. Hanya beberapa kali," jawab Elena seadanya. Ia mencoba menelaah maksud dari pertanyaan pria berekspresi minim itu, namun, Elena tak pandai menerka.

"Kenapa kalian bisa sedekat itu?"

Alis kanan Elena terangkat. Haruskah ia mengatakan tujuan Tisya menjadikannya teman? Tapi, Elena takut salah bicara,  bisa saja rencana ini dirahasiakan oleh Tisya dan Ibunya dari Kaisar. Mendengar pertanyaan Kaisar tentu dugaan Elena tak meleset.

"Aku tidak tahu. Dia datang padaku dan berkenalan. Tisya bilang ingin menjadi temanku. Memangnya kenapa?"

Kaisar menegaskan kontak mata, maniknya tertuju pada manik Elena yang menatapnya biasa. Meski perempuan itu sedikit tertegun, ia berusaha bersikap santai. Tak ingin Kaisar menyadari rasa terintimidasi oleh tatapannya.

"Pernikahan kita hanya sementara. Sebaiknya jangan dekati keluargaku, apalagi Tisya!"

Tanpa sadar Elena mendengus. Ia mengambil gelas berisi air putih untuk diminum. Kalimat yang baru saja Kaisar katakan sedikit melukai harga dirinya. 

Lagi pula, sejak awal Elena memang tak ada setitik pun niat berkenalan dengan keluarga Kiasar, apalagi mendekati mereka. Ia sangat sadar diri bagaimana keluarga itu memandang dirinya amat rendah.

"Aku sangat tahu bagaimana kalian menganggap ku di belakang. Jadi, ku pikir, aku tidak tertarik menjadi bagian keluargamu. Jika kamu tak suka kedekatan ku dan adikmu, kenapa tidak kamu bicarakan dengannya? Suruh dia berhenti menemuiku!"

Tanpa memperdulikan kesopanan, Elena meninggalkan meja makan. Meninggal isi piring yang masih penuh, selera makannya melayang begitu saja.

Pria itu hanya diam, seolah apa yang dilakukannya adalah hal biasa. Dan entah mengapa lagi-lagi sudut hati Elena seakan tersentil. Tubuhnya hanya digunakan sebagai tempat menuangkan nafsu pria itu. Menggantikan posisi Clara yang dianggap lebih setara, lebih layak menjadi sosok pendamping bukan sosok pelampiasan.

Elena memasuki kamar mandi, membuka sebuah botol kecil dan mengambil satu butir pil. Hari ini Kaisar kembali menyetuhnya, mau tak mau Elena menelan pil itu lagi dan lagi agar tidak ada nyawa bayi yang akan dibenci banyak orang bila hadir dalam keadaan saat ini.

Ia menyukai anak-anak, bahkan berpikir akan memiliki tiga atau empat anak di kemudian hari jika Elena sanggup. Hidup sebatang kara tentu bukan hal mudah, meski selama ini Elena tak menyangkal tentang kebaikan adik dari mendiang ayahnya yang rela merawat dan membesarkan dirinya. Ada banyak perlakuan berbeda dari seorang Ayah pada anak dan keponakannya.

Elena tak iri sama sekali pada Clara yang menerima begitu banyak cinta dari kedua orang tuanya. Sedari kecil ia selalu sadar siapa dirinya dalam keluarga itu. 

Perfect PainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang