37 Perfect Pain
.
Tiga hari setelah perbincangan di meja makan, Elena dan Kaisar kini tengah dalam perjalanan menuju rumah sepupu pria tersebut. Dalam kendaraan pribadi milik Kaisar hanya terdapat sebuah keheningan setelah Kaisar berusaha mengajak wanita itu bicara. Namun, tampaknya Kaisar kembali merasa gemas dengan sikap Elena yang pendiam.
“Elena!” panggilnya halus saat mereka berhenti di salah satu lampu merah.
“Ya?” Wanita itu menoleh sekilas, akan tetapi setelah itu kembali fokus pada ponsel di tangannya.
“Bukankah kamu bilang ingin menjadi istri yang seutuhnya?”
Hal tersebut berhasil membuat Elena melepaskan pandangan dari ponselnya. Ia memerhatikan Kaisar dengan tatapan penuh tanya.
“Apa yang ingin kamu katakan, Kai?”
Kaisar meremas stir yang sejak tadi tak dilepasnya. Ia mencoba tersenyum kecil sebelum bicara, “Aku ingin hubungan tidak kaku lagi, misalnya saat bicara.”
Elena menghela napas panjang sebelum menjawab, mencoba merangkai kata-kata yang tepat. "Kai, aku tahu kamu ingin kita lebih akrab dan terbuka satu sama lain. Tapi, kamu juga harus mengerti bahwa ini semua butuh waktu. Awal mula pernikahan kita bukan sesuatu yang alami. Kita berdua dipaksa oleh keadaan, dan aku masih berusaha beradaptasi."
Kaisar menatap Elena sejenak sebelum kembali melajukan mobilnya saat lampu hijau menyala. Ia mendengarkan dengan seksama, mencoba memahami perasaan istrinya. "Aku mengerti, Elena. Aku juga merasakan hal yang sama. Tapi, bukankah sebaiknya kita mencoba lebih keras? Aku hanya ingin kita berdua bisa lebih nyaman dan mungkin, suatu hari nanti, perasaan kita bisa tumbuh lebih dari sekadar kewajiban."
Elena terdiam sejenak, merenungi kata-kata Kaisar. Ia tak mau salah bicara dan harus terdengar meyakinkan. "Aku sudah mencoba, Kai. Setiap hari aku berusaha lebih terbuka dan berusaha untuk mengenalmu lebih baik. Tapi kadang, rasanya sulit. Ada jarak yang belum bisa kutembus."
Kaisar mengangguk, meski pandangannya tetap terfokus pada jalan di depannya. "Apa yang bisa aku lakukan untuk membuatmu merasa lebih nyaman, Elena? Aku ingin tahu apa yang bisa kita lakukan bersama agar kita bisa lebih dekat."
Elena tersenyum tipis, tapi matanya masih menunjukkan keraguan. "Aku tidak tahu, Kai. Aku bingung harus mulai dari mana. Aku merasa ada dinding yang sulit kutembus. Kadang aku merasa tidak tahu bagaimana caranya untuk lebih dekat denganmu."
Kaisar menghela napas, berpikir sejenak sebelum memberikan ide. "Bagaimana kalau kita mencoba melakukan hal-hal yang bisa mendekatkan kita? Mungkin kita bisa mulai dengan hal-hal kecil. Menghabiskan waktu bersama tanpa ada tekanan. Kita bisa mencoba berbicara lebih banyak tentang hal-hal yang kita suka, mungkin mencari hobi yang bisa kita lakukan bersama."
Elena mengangguk pelan, meski masih tampak ragu. "Itu ide yang bagus. Mungkin kita bisa mencoba."
Kaisar tersenyum, senang melihat sedikit kelegaan di wajah istrinya. "Kita bisa mulai dengan menghabiskan waktu di taman atau menonton film yang kita sukai. Aku juga suka memancing, mungkin kita bisa pergi memancing bersama. Aku akan membantumu setiap langkahnya, Elena."
Elena menatap jalanan di depan, masih ada keraguan di matanya. "Aku belum pernah memancing sebelumnya, tapi aku mau mencobanya."
Perjalanan mereka berlanjut dengan percakapan yang perlahan mulai terasa lebih hangat. Kaisar bercerita tentang hobinya, sementara Elena mencoba membuka diri meski masih merasa canggung.
Setibanya di rumah sepupu Kaisar, Elena terpesona oleh keindahan rumah megah yang berdiri di hadapannya. Rumah tersebut bergaya Eropa, dengan detail arsitektur yang menawan dan halaman yang luas serta rapi. Pilar-pilar putih menghiasi beranda depan, sementara jendela-jendela besar memancarkan cahaya hangat dari dalam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perfect Pain
RomanceBagi Elena, pernikahan bersama Kaisar hanyalah sebuah pengorbanan untuk balas budi.