62 Perfect Pain
.
Wajah tegas yang selalu tampak segar dan rapi itu, kini lesu tanpa tenaga. Ia bagai manusia hidup tak memiliki semangat. Kaisar baru kembali di jam dua dini hari dari perjalanan mencari keberadaan Elena. Ia telah mengorek-ngorek informasi mengenai kerabat dekat maupun teman istrinya. Namun sayang, tidak ada yang bisa ia dapatkan.
Elena menghilang bagai tak pernah hadir sebelumnya di hidup Kaisar. Tiga hari berlalu dengan sia-sia. Kaisar meninggalkan segala pekerjaannya, ia fokus hanya untuk mencari keberadaan istrinya. Tak peduli bahwa sang ayah dan ibu sering menerornya dengan panggilan telepon. Kaisar tak menghiraukan itu semua.
Ia sudah lelah menangis seorang diri. Air matanya makin sulit terjatuh karena terlalu banyak menangis. Kehilangan Elena jauh lebih menyakitkan dibandingkan yang dulu.
Nyawa Kaisar seolah tak berada di raganya. Kini ia mengantuk dan beruntung berhasil sampai ke rumah dengan selamat.
Kasur tempatnya berbaring menjadi tempat ternyaman. Tempat di mana ia dan Elena saling memadu kasih. Tempat yang menjadi saksi bisu bagaimana hubungan mereka semakin dekat dari waktu ke waktu.
Detik demi detik berlalu, secara pelan Kaisar memasuki alam mimpi. Ia sangat jarang tertidur sejak tiga hari yang lalu. Pikirannya tak tenang setelah perginya sang istri yang amat ia cintai.
Matahari kembali menerangi dari pagi. Kaisar terbangun karena ponselnya berbunyi terlalu sering.
Tangannya meraba ke sisi kasur. Ia ingat telah meletakan benda persegi panjang itu di sana.
"Halo!" sapanya dengan suara serak khas bangun tidur.
"Kai!" Kaisar refleks menjauhkan ponsel dari telinganya. Suara Devita begitu memekakan telinga. Nyawanya yang tadi belum terkumpul sempurna kini terpaksa ia usahakan untuk sadar dan mendengar ocehan wanita yang telah melahirkannya di dunia ini.
"Ada apa, Ma?" tanya Kaisar malas. Seandainya ia tahu siapa si penelepon, Kaisar memilih untuk tak menjawab.
"Mama telah menghubungi mu beberapa hari ini. Kenapa tidak pernah kamu angkat? Kamu juga tidak pernah masuk bekerja sejak tiga hari yang lalu. Apa yang sedang terjadi denganmu, hah?" seloroh Devita dengan amarah memuncak. Tergambar jelas bagaimana ekspresi ibunya di benak Kaisar.
Kaisar mendengus dan berhasil di dengar oleh Devita.
"Kai? Apa yang terjadi dengan mu? Papa mu, mau tak mau harus kembali bekerja karena kamu yang seperti ini."
"Elena..."
"Apa? Ada apa dengan wanita itu, Kai?"
"Elena pergi, Ma. Dia menghilang begitu saja. Aku sedang mencarinya."
Decakan keluar dari mulut Devita. "Untuk apa kamu mencarinya, Kai? Bagus dia pergi tanpa perlu diusir."
Telinga Kaisar memanas usai mendengar perkataan ibunya. "Ma!"
Devita kaget dengan bentakan itu. Kaisar tak pernah bersikap kasar seperti sekarang ini padanya. "Jangan katakan itu lagi, mengerti? Elena adalah istriku. Wajar bila aku mencarinya saat dia pergi," lanjut Kaisar penuh amarah.
Devita dapat merasakan amarah serta keputusasaan dari nada bicara putra sulungnya itu. Rupanya rencana yang Devita susun untuk menyelamatkan nama baik keluarganya malah menjebak Kaisar dalam perasaan cinta pada wanita seperti Elena.
"Kai, dengarkan Mama! Lupakan saja wanita itu mulai sekarang. Mama akan mengurusi urusan perceraian. Kamu tenang saja, mengerti?"
Kaisar tertawa frustasi. Ibunya sungguh luar biasa. Tidakkah ia mau memahami perasaannya. Kaisar hampir gila karena kehilangan istrinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perfect Pain
RomanceBagi Elena, pernikahan bersama Kaisar hanyalah sebuah pengorbanan untuk balas budi.