63 Perfect Pain
.
“Perusahaan menjadi kacau gara-gara kamu tinggalkan begitu saja.” Kiantara bicara tepat di seberang Kaisar yang tengah memakan mie instan. Dahinya mengkerut, “Tumben kamu makan makanan seperti itu, Kak?” tambahnya lagi.
Tak ada jawaban dari Kaisar. Kiantara menjadi jengah melihat sikap Kaisar. Ini pertama kalinya pria itu seperti sekarang. Bahkan ketika dipaksa putus dengan Savira ia masih bisa bersikap waras.
“Cobalah kamu melihat dirimu di cermin, Kak! Aku yakin kamu pasti akan terkejut.”
“Jika kamu datang hanya untuk menceramahi ku, lebih baik kamu pergi saja! Aku tidak butuh omong kosongmu.” Kaisar membalas dengan nada datar, namun penuh penekanan.
Kiantara tampak masih santai. Ia tak takut sama sekali dengan pengusiran kakaknya itu.
“Aku datang kemari atas perintah Bunda Ratu. Katanya kamu harus cepat kembali bekerja, kasihan Papa sampai terkena masuk angin karena mengurusi pekerjaan yang kamu tinggalkan. Urusan Elena biar aku yang tangani,” jelas Kiantara. Melihat cara Kaisar makan, ia jadi merasa kasihan. Sebesar itukah cinta Kaisar pada istri yang awalnya dianggap asing? Ia menggila hanya karena ditinggalkan. Yang lebih parah lagi, Elena meninggalkan surat cerai di kamar mereka. Sungguh dramatis dan rumit sekali kisah cinta kakaknya ini.
“Aku tidak akan kembali ke perusahaan sebelum menemukan istriku. Daripada kamu berlama-lama di sini, sebaiknya pergi sekarang!”
Kiantara berdecak kesal. “Bagaimana jika tidak ketemu?”
Kaisar langsung menatap tajam. Seakan tengah membidikkan anak panah pada wajah Kiantara. “Aku pasti akan menemukannya. Dia tidak bisa pergi begitu saja dariku.”
“Setidaknya aku sudah menyampaikan pesan Mama padamu, Kak. Kalaupun tidak kamu turuti itu bukan urusan ku. Ku yakin besok atau beberapa hari ke depan Mama akan mengunjungimu.”
Kiantara beranjak dari kursi. Sempat berucap membelakangi Kaisar sebelum pergi, “Aku akan membantumu mencari Elena. Tapi, tolong jangan gila terlebih dahulu! Kasihan keponakan ku nanti jika memiliki ayah yang gila.”
Rasanya Kaisar ingin sekali melempari punggung adiknya dengan mangkuk kaca berisikan kuah mi soto. Adiknya itu sungguh kurang ajar.
.
Tepat seperti yang Kiantara ucapkan, ketika Kaisar kembali dari pencarian istrinya. Sang ibu telah hadir dengan wajah memerah tersulut amarah. Wanita tua itu bangkit dari sofa ruang tamu, berjalan ke arah Kaisar dengan gerakan cepat. Ia telah menunggu sejak siang, namun Kaisar baru memunculkan batang hidungnya ketika hampir tengah malam, dengan penampilan yang jauh dari kata baik.
“Ke mana saja kamu, hah? Masih mencari wanita murahan itu?”
Panggilan Devita pada Elena jelas membuat emosi Kaisar meradang. Ia sangat lelah, namun, ketika sampai di rumah harus melayani Devita yang hanya bisa menyemprotnya dengan kata-kata yang Kaisar benci.
“Siapa wanita murahan yang Mama maksudkan itu? Elena? Dia istri ku Ma. Dia ibu dari anak ku. Kenapa Mama selalu memanggilnya serendah itu?”
“Kai, kamu yakin bahwa anak yang dikandungnya itu adalah anakmu? Bagaimana jika sebenarnya itu bukan bayimu?”
“Ma? Sungguh?” Kaisar mengusap rambutnya kasar. Tak habis pikir dengan dugaan buruk ibunya. “Kenapa Mama berpikir begitu licik terhadap istriku? Aku mengenalnya, aku yang lebih sering bersamanya. Berangkat kerja bersama, makan siang bersama, pulang bekerja bersama. Elena pun selalu berada di dalam rumah ku ketika pulang bekerja. Bagaimana bisa Mama berpikir seperti itu tentang Elena?” Kedua mata Kaisar memancarkan sebuah kekecewaan yang amat mendalam. Tak percaya bahwa wanita yang dianggap selalu tampak anggun dan bermartabat seperti ibunya mampu berkata demikian jahat terhadap menantunya sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perfect Pain
RomanceBagi Elena, pernikahan bersama Kaisar hanyalah sebuah pengorbanan untuk balas budi.