30. Perfect Pain

15K 610 2
                                    

30 Perfect Pain

.

Sejak Elena kembali memasuki kamar utama, ia tak mendapati kehadiran Kaisar sejak sore tadi. Bahkan saat makan malam di dapur. Elena tak tahu kemana perginya pria tersebut, padahal kata Bi Murni Kaisar tak keluar juga hari ini. Hanya asistennya yang datang sebentar untuk mengantarkan berkas. Elena memang sempat bertanya karena penasaran. 

Sedikit rasa lega menyeruak di hatinya kala memasuki kamar yang kosong. Berharap sang suami tak memasuki kamar tersebut hingga ia terlelap. Elena malas berinteraksi dengan Kaisar. Takut bila kalimat siang tadi kembali dibahas.

Malam telah menunjukan jam sembilan dua puluh tujuh menit. Elena belum mengantuk, mungkin karena efek tidur  yang cukup panjang dari pagi hingga siang. Elena bahkan telah mematikan lampu agar cepat terlelap.

Wanita itu mendesah kesal. Beberapa kali memejamkan mata, namun kantuk belum menghampiri. Beberapa kali juga ia merutuki dirinya yang terkadang memikirkan perkataan Kaisar.

Elena sontak melirik ke arah pintu yang gagangnya bergerak ke bawah. Pertanda bahwa ada seseorang yang hendak masuk. Elana yakin, Kaisar lah orang tersebut.

Tak ingin berinteraksi dengan pria tersebut, Elena memilih berpura-pura tidur saat Kaisar masuk.

Dalam kegelapan yang mendominasi ruangan, Elena merasa jantungnya berdegup kencang saat mendengar langkah Kaisar mendekat. Hembusan napasnya terasa berat, mencerminkan kegelisahan yang menghampirinya. Ketika Kaisar akhirnya duduk di samping tempat tidurnya, Elena berusaha sekuat tenaga untuk tetap berpura-pura tertidur, meskipun hatinya berteriak untuk melarikan diri dari kehadiran pria itu.

Setiap sentuhan lembut dari tangan Kaisar yang menyapu rambutnya dan meluncur di wajahnya membuat Elena merasa gugup, takut akan apa yang akan terjadi selanjutnya. Ketegangan semakin memuncak saat Elena merasakan bibir Kaisar menyentuh keningnya dalam keheningan yang membelenggu, seolah waktu berhenti sejenak. Denyut jantungnya berdetak semakin keras, seolah-olah ingin meloncat keluar dari dadanya.

Dan kemudian, ketika Elena merasakan bibir Kaisar mencium bibirnya, reaksi spontan terjadi. Ia merasa terkejut, tak percaya bahwa Kaisar benar-benar melakukan hal itu. Kemarahan yang meluap pun memenuhi hatinya, meskipun ia terus berpura-pura tidur. 

Dalam kegelapan, dalam diam, Elena memaki Kaisar dalam hatinya atas tindakan tidak pantas yang telah dilakukannya. Rasanya ingin dia berteriak, tapi ia memilih untuk tetap diam, memendam semua emosinya yang bergejolak di dalam hatinya. Tak ingin Kaisar tahu bahwa ia tengah berpura-pura.

“Maaf,” bisik Kaisar tepat setelah melepas tautan bibirnya. 

Meskipun Elena masih berpura-pura tertidur, bisikan Kaisar memecah keheningan di dalam ruangan gelap. Suaranya terdengar penuh penyesalan, tapi Elena tetap diam, berusaha keras untuk tidak memberikan reaksi apapun yang bisa mengkhianati kepura-puraannya.

Hatinya berkecamuk dengan pertanyaan-pertanyaan yang tak terjawab. Mengapa Kaisar meminta maaf? Apakah ada sesuatu yang dia sesali dari perilakunya selama ini? Ataukah ini hanya strategi manipulatif lainnya dari pria itu?

Dalam kebimbangan yang menyelimuti pikirannya, Elena memutuskan untuk tetap berpura-pura tidur. Ia tak ingin memberikan Kaisar kesempatan untuk mengetahui bahwa dia sudah sadar. Kaisar mungkin meminta maaf, tetapi Elena masih merasa takut dan marah atas apa yang telah terjadi.

Elena dapat merasakan Kaisar yang menjauh. Dengan sedikit keberanian ia membuka perlahan kedua matanya. Pria itu melangkah membelakanginya memasuki kamar mandi. Tak beberapa lama terdengar rintikan air dari balik pintu yang Kaisar masuki.

Perfect PainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang