49 Perfect Pain
.
Hari itu sangat sibuk bagi Elena dan rekan-rekan satu divisinya. Ditambah lagi dengan kepalanya terasa pusing sejak pagi tadi. Ia sempat memimun obat untuk meredakan sakit kepala, namun sayang obat itu tidak manjur sama sekali.
Bahkan untuk pergi makan siang saja Elena tak sanggup. Elena lagi-lagi tak makan siang bersama Kaisar hari ini, karena pria itu memiliki pertemuan di luar kantor. Ia lebih memilih untuk memesan makanan dengan menggunakan aplikasi.
Ruang kerja amat sepi, karena semua rekan kerjanya telah keluar untuk makan siang. Elena kala itu hanya duduk menelungkupkan kepala di atas meja sembari sesekali mengecek ponsel yang memperlihatkan motor makin mendekati titik pengantaran pesanan, yaitu kantornya.
Elena turun ke lantai satu dalam keadaan lemas. Setelah berhasil mendapat makanannya, ia kembali naik dan akan makan di dalam ruang kerja sendirian. Ia bersandar pada kursi, makanannya belum tersentuh sama sekali.
Ia sudah tidak kuat, tubuhnya menghangat, kepala berkunang-kunang serta keinginan untuk muntah yang selalu ia tahan. Dunia sekitar terasa berputar.
Elena kembali meraih ponsel untuk memesan taksi online. Ia akan pergi ke rumah sakit terdekat. Elena sengaja tak pergi ke klinik kantor karena ia merasa ada yang salah dengan tubuhnya sejak beberapa waktu yang lalu.
Ia takut jika apa yang ia pikirkan benar-benar terjadi. Seandainya pihak klinik kantor tahu, jelas berita kehamilannya akan menyebar dengan cepat. Elena tak mau hal itu terjadi.
Seorang satpam berniat membantu Elena ketika wanita itu berjalan keluar. Tapi, Elena menolak, ia masih sanggup berjalan tanpa bantuan orang lain.
“Rumah sakit A, benar?” tanya si supir taksi.
“Iya. Tolong yang cepat. Kepala saya sakit sekali.”
“Baik.”
Mobil taksi online yang berwarna merah itu meninggalkan halaman gedung Living With. Hingga tak sampai lima belas menit mereka tiba di rumah sakit. Elena keluar dengan dibantu oleh si supir yang berbaik hati karena melihat keadaannya.
Mereka mulai melangkah masuk, namun sekelebat penampakan seseorang yang ia kenal dari kejauhan tertangkap di ujung matanya. Elena berhenti melangkah dan melirik ke arah kiri.
Hatinya berdenyut nyeri, di halaman parkiran ia melihat Kaisar membuka pintu untuk seorang anak perempuan yang Elena tahu merupakan anak dari wanita bernama Vira. Di sana juga terdapat Vira yang tersenyum manis dan ikut masuk ke bagian pintu depan, disamping supir. Kaisar pun ikut masuk dan mobil pun melaju.
Elena hampir terjatuh, beruntung si supir yang terbilang muda itu sigap menahan tubuhnya. Elena marah dan kecewa, Kaisar membohonginya lagi.
Sebenarnya siapa sih wanita itu?
“Anda tidak apa-apa?” tanya sang supir.
“Tidak apa-apa. Terima kasih,” balas Elena. Mereka kembali melangkah.
Setelah melakukan sedikit registrasi, Elena sempat menunggu beberapa lama hingga memasuki ruang periksa. Dengan pikiran yang penuh oleh kejadian tadi, Elena juga merasa gugup disaat bersamaan.
Ia takut bila sosok janin tumbuh di rahimnya. Bukan Elena membencinya, tapi keadaanya sungguh tidak memungkinkan. Ia mungkin bisa menerima, namun orang-orang disekitarnya jelas akan menolak bayinya.
Seorang dokter wanita tersenyum setelah selesai memeriksa, namun Elena membenci makna dibaliknya. Apalagi dengan kata-kata yang diucapkan oleh wanita itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perfect Pain
RomanceBagi Elena, pernikahan bersama Kaisar hanyalah sebuah pengorbanan untuk balas budi.