55 Perfect Pain
.
Pintu bernomor 369 diketuk oleh Tisya. Perempuan itu menunggu tak sabaran, ia berdecak kesal. Sudah lebih dari tiga menit ia berdiri di depan sana.
Tisya sempat pergi ke tempat Kiantara bekerja, akan tetapi kata pegawainya, pria itu sudah tidak berada di sana sejak siang hari. Jadi, Tisya pun berpikir bahwa sang kakak kedua yang jarang diperhatikan oleh sang ibu itu kembali ke apartemen. Akan tetapi, Tisya tak menemukan tanda-tanda kehadiran Kiantara.
Tisya sudah beberapa kali menghubungi, namun nihil. Kiantara tak mengangkat sama sekali. Padahal teleponnya berdering.
Perempuan itu menghela napas kasar. Sekali lagi mengetuk pintu dan kali ini berhasil dibuka. Tisya hampir memuntahkan amarahnya. Namun, tertahan karena bukan Kiantara yang kini berdiri di depannya. Lagi-lagi wanita yang waktu itu.
Kedua mata Tisya menyipit. Penasaran siapa nama perempuan di depannya. Sepertinya Kiantara sering membawanya ke apartemen.
“Apa Kak Kian ada di dalam?” tanya Tisya. Ia tak ingin membuat perempuan di depannya makin salah tingkah. Entah apa yang telah mereka perbuat di dalam sana, hingga ia terabaikan. Tisya akan bicarakan nanti, bila sempat.
“Kiantara ada di dalam,” balas wanita itu kikuk.
“Apa aku boleh masuk?”
“Ah, tentu saja boleh. Tapi Kiantara masih di dalam kamar mandi.”
Tisya makin curiga. Siang-siang begini si anak tengah itu tak mungkin belum mandi, apalagi tadi sempat pergi bekerja. Pasti sudah terjadi hal berbau dewasa di antara Kiantara dan perempuan di hadapannya sekarang.
“Silakan masuk!” ucap wanita itu lagi. Ia mempersilakan Tisya masuk dengan memberi jalan.
Tisya melangkah masuk. Keadaan di ruang apartemen mewah itu masih tampak rapi. Hm, mungkin, mungkin saja wanita ini hanya sedang bersih-bersih.
“Kalau boleh tahu, siapa namamu Kak?” Tisya bertanya sambil ia menyamakan langkahnya agar berada di samping wanita itu.
“Nama ku Kinanti,” balasnya canggung.
“Ah Kak Kinanti. Jika tidak keberatan, apa kamu tidak masalah jika aku bertanya hal lain?”
Kinanti terdiam sesaat. Tisya lantas berhenti melangkah dan menatap Kinanti yang juga ikut berhenti. Perempuan itu cukup tinggi, mungkin sekitar seratus tujuh puluh sentimeter. Tisya hanya sedikit lebih rendah.
“Hm, tentu. Apa yang ingin kamu tanyakan?”
“Berapa usia mu, Kak? Kamu tampak sangat muda.” Sebenarnya bukan itu yang ingin Tisya tanyakan. Ia sangat penasaran dengan hubungan Kinanti dan Kiantara, namun melihat wajah polos itu, Tisya merasa tak tega. Ia akan menanyakan langsung pada Kiantara, itupun kalau Kiantara mau menjawab.
“Ah, usiaku sembilan belas tahun.”
Mulut Tisya menganga lebar. Sial! Wanita-wanita kedua kakak laki-lakinya ternyata berusia lebih muda daripada dirinya. Bahkan perempuan di depan Tisya ini belum mencapai usia dua puluh tahun. Memanggilnya dengan sebutan ‘Kak’ terasa kurang pantas.
“Tisya!” panggil suara berat di sebelah kiri.
Tisya berbalik dan rupanya Kiantara sudah hadir dengan berpakaian santai dan rambut basah. Tisya melirik kepada Kinanti, ia baru sadar bahwa kedua makhluk itu sama-sama menggunakan kaos berwarna putih. Hubungan mereka tidak dapat disangkal lagi.
“Kak Kian. Apa kamu sudah mendapatkan informasi mengenai Savira?”
Tisya meninggalkan Kinanti dan melangkah cepat ke arah Kiantara. Menanyakan hubungan mereka hanya akan membuang energi. Setidaknya nanti Tisya akan melakukan pendekatan dengan Kinanti. Tentu tanpa sepengetahuan Kiantara.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perfect Pain
RomanceBagi Elena, pernikahan bersama Kaisar hanyalah sebuah pengorbanan untuk balas budi.