12 Perfect Pain
Elena beranjak dari kasurnya, meninggalkan Kaisar yang terlelap setelah percintaan yang berlanjut di kamar tidur. Perempuan itu mengambil ponsel yang berada di atas nakas, melihat waktu yang menunjukkan jam sembilan malam. Perutnya bergemuruh, ia belum makan malam karena perbuatan suaminya. Mereka terlelap, perkiraan Elena kurang lebih dari tiga jam yang lalu.
Usai memasangkan pakaian yang nyaman, Elena keluar dari kamar. Karena terlalu lelah, ia tak berniat membuat makanan yang merepotkan, meski tahu pembantu di rumah sudah memasak. Malam itu juga hawanya terasa dingin, Elena berencana merebus mie dengan rasa soto ditambah telur, cabai dan perasaan jeruk nipis cukup membuatnya menelan ludah.
Elena membuka lemari kabinet, mencari keberadaan mie di dalam benda itu, semoga saja ada. Bibirnya menukik indah, tiga bungkus mie berwarna hijau ada di sana. Sepertinya pembantu di rumah ini juga mengkonsumsi makanan instan tersebut, karena hanya tersisa sedikit. Tidak mungkin orang seperti Kaisar mau memakannya.
Panci kecil berisi air Elena panaskan di atas kompor yang menyala. Ia mengambil sebutir telur, cabai rawit, serta jeruk nipis di kulkas. Memecahkan telur dan langsung dimasukkan pada air mendidih. Saat telur berubah putih Elena memasukan mie yang telah keluar dari bungkusnya, mengesampingkan bumbu di atas kabinet. Lantas memotong cabai menjadi kecil dan ikut masuk ke dalam panci.
Perut Elena semakin lapar saat mencium aroma bumbu dari mie instan yang wangi. Makanan itu telah tersaji di mangkuk kaca, terakhir ia memeras jeruk nipis dan mengaduknya. Elena mencoba kuah hangat itu dengan sendok, rasa sedikit asam dari jeruk nipis memberi cita rasa segar di mulut.
Elena mendongak saat menangkap siluet seseorang dari ujung matanya. Ia mendongak dan melihat ke bagian kanan, disana Kaisar berdiri dengan sudah mengenakan piyama polos berwarna navy.
Seketika Elena merasa canggung, Kaisar tiba dengan wajah yang tenang. Tanpa berkata sepatah kata pun, ia melewati Elena dan menuangkan air putih ke dalam gelas. Kemudian, Kaisar duduk di salah satu kursi di ujung meja makan, tepat di depan Elena. Suasana di ruangan itu terasa semakin tegang dengan kehadiran Kaisar.
"Kamu mau makan?" tawar Elena ragu. Berpikir bahwa Kaisar sama seperti dirinya, kelaparan karena belum mengkonsumsi apapun saat tiba di rumah. "Bibi sebenarnya sudah membuat makanan, kalau kamu mau aku bisa panaskan."
Air dalam gelas panjang yang Kaisar genggam habis diteguk. Lantas ia melatakkannya di atas meja. "Aku mau itu."
"Tapi ini cuma mie instan."
"Lalu, kenapa?"
Ujung sendok diremas pelan oleh Elena. Tak menyangka respon Kaisar akan begitu.
"Akan ku buatkan yang baru."
"Itu saja. Kalau buat yang baru, untukmu saja."
"Tapi ini sudah aku makan."
Kaisar menyandarkan bahu di kepala kursi. Tatapannya mengarah pada mangkuk. "Masih banyak kan?"
"Baiklah. Ambil saja ini."
Elena tak mau berdebat, memilih berdiri dan meletakkan mangkuknya di depan Kaisar. Ia hendak membawa sendok serta garpu yang tadi ia gunakan.
"Sendoknya?" ujar Kaisar.
"Aku ambil kan yang baru. Ini bekas ku."
"Tidak masalah. Aku bahkan sudah merasakan lebih dari itu darimu."
Elena merasa merinding mendengar kalimat itu dari Kaisar. Ungkapan tersebut terasa begitu vulgar baginya, terutama saat melihat wajah tanpa dosa Kaisar yang tenang saat tangan besarnya mengambil alih sendok dan garpu. Dengan perasaan canggung yang semakin memuncak, Elena berbalik dan kembali membuat mie rebus dengan bahan yang sama untuk dirinya sendiri.
Suasana hening hanya terpotong oleh bunyi alat masak yang bergesekan dengan panci, menciptakan ketegangan yang sulit dijelaskan. Elena berusaha menahan nafasnya, berharap bahwa situasi ini akan segera berlalu, namun setiap detik terasa seperti berjam-jam dalam keheningan yang terasa menyiksa saat bersama Kaisar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perfect Pain
RomanceBagi Elena, pernikahan bersama Kaisar hanyalah sebuah pengorbanan untuk balas budi.