17 Perfect Pain
.
Dahi Devita sedikit mengkerut melihat ekspresi salah satu pembantu di rumah Kaisar. Wajah tua itu tampak khawatir akan sesuatu.
"Kaisar sudah pulang, Bi?" tanyanya dengan raut dingin.
Bi Murni menunduk, dua tangannya saling tertaut di depan badan. Berharap sang Nyonya besar tidak mendeteksi sesuatu yang aneh dan ketakutannya.
"Sudah, Nyonya. Baru saja tiba. Sepertinya sedang mandi di kamar atas."
"Elena juga?"
"I-iya."
"Kenapa bagian belakang situ di tutup, Bi?"
Murni mencoba bersikap tenang. Bila ia gugup, maka Devita akan curiga dan penasaran dengan pemandangan di balik tirai.
"A-anu Nyonya. Sudah gelap, Tuan Kaisar meminta untuk ditutup saja."
Kedua mata Devita sedikit menyipit. Melihat gelagat aneh itu ia tak peduli, mungkin saja pembantu tersebut hanya merasa gugup karena melihatnya.
"Bilang pada Kaisar kalau saya datang! Saya tunggu di ruang tamu."
"Nyonya ingin minum apa?" tanya Bi Murni.
"Teh ginseng hangat. Kalau ada kudapan, bawakan!"
"Baik, Nyonya."
Devita melenggang pergi, meninggalkan area ruang makan yang terhubung dengan kolam renang di belakang. Murni amat lega, beruntung ia menutup tirai dan pintu. Ia juga berhasil membuat Devita tak curiga.
Terpaksa Murni menyingkir dari sana tuk pergi ke dapur dan membuat teh ginseng hangat. Keberadaan dapur yang terletak di bagian kanan ruang makan tak membuatnya buang waktu lama.
Di balik tirai, Kaisar baru saja menyelesaikan permainannya dengan Elena. Tangan Elena mendorong tubuh Kaisar perlahan. Namun, pria itu malah kembali mencium wajahnya dan bibirnya tanpa henti.
Elena lelah, ia baru pulang bekerja dan harus meladeni nafsu Kaisar yang melambung tinggi.
"Sudah hampir gelap. Sebaiknya kita sudahi dulu!" ucapnya dengan upaya mendorong tubuh besar Kaisar.
Menyadari gurat letih pada wajah istrinya, Kaisar pun menyerah dan mundur. Ia memeluk pinggang Elena dan mengusap dagunya.
"Kita harus berbilas terlebih dahulu."
Kaisar membantu Elena memasangkan kembali celana pendek milik wanita itu. Lantas juga membantu Elena keluar dari kolam, ia ikut setelahnya. Elena menatap Kaisar bingung saat pria itu berjalan di sampingnya menuju kamar mandi yang terletak di dekat kolam.
"Kamu mau berbilas terlebih dahulu?"
Kaisar menunduk, menatapnya datar.
"Lebih cepat jika kita melakukannya bersama."
Tatapan penuh kecurigaan Elena tujukan pada Kaisar. Pria itu hanya mengedikkan bahu.
"Hanya mandi," tegasnya.
Pada akhirnya Elena mengambil kembali baju dan handuk yang sempat ia bawa. Mereka mandi bersama di dalam ruangan kecil itu tanpa sadar seseorang tengah menunggu kehadiran salah satu dari mereka.
Elena, dengan wajah yang memerah karena rasa malu, cepat-cepat mengenakan handuk yang disediakan setelah selesai berbilas. Tangan gemetar mencoba memasang baju tidur berwarna lilac dengan motif Kuromi, celana pendek dan lengan pendek, yang ia bawa. Suasana kamar mandi terasa semakin canggung dengan kehadiran Kaisar di sana, usai Elena mengenakan baju, pria itu menggunakan handuk bekas Elena.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perfect Pain
RomanceBagi Elena, pernikahan bersama Kaisar hanyalah sebuah pengorbanan untuk balas budi.