29. Perfect Pain

13.4K 617 9
                                    

29 Perfect Pain 

.

Elena terbangun saat hari menjelang siang. Ia mengerjab bingung. Siapa yang telah memindahkan dirinya ke kamar? Apa mungkin Kaisar? Tapi seingat Elena, Kaisar lebih dulu meninggalkannya di ruang tamu. Mungkin saja Bi Murni meminta bantuan seseorang. Elena tak ingin ambil pusing.

Wanita itu pada akhirnya tetap berada di atas kasur sambil bermain ponsel. Ia terlalu malas beranjak dari kasur yang hangat dan empuk. Kamar berpendingin itu cukup membuat udara terasa lebih sejuk.

Perutnya tiba-tiba berbunyi. Elena sejak awal sadar bahwa ia merasa lapar ketika bangun. Namun, wanita itu terlalu malas beranjak. Mungkin nanti saja jika benar-benar kelaparan.

Di tengah-tengah kegiatannya, suara deritan pintu mengalihkan perhatian Elena dari layar ponsel. Di sana berdirilah Kaisar dengan rambut berantakan serta wajah yang tampak kusut. Entah apa yang menyebabkan wajah yang pagi tadi tampak segar, kini menjadi kusut seperti sekarang.

Elena merasa perasaannya bercampur aduk saat melihat Kaisar dengan penampilan yang begitu berbeda dari biasanya. Ada kegelisahan dan ketidaknyamanan yang sulit ditafsirkan. Meskipun begitu, dia mencoba mengabaikan perasaannya dan berkonsentrasi pada ponsel, mencoba mengalihkan perhatian dari situasi yang membingungkan ini.

“Kamu sudah bangun?” Kaisar bertanya seraya melangkahkan kaki.

“Hm,” balas Elena. Ia berusaha untuk tidak menatap balik suaminya. Tangannya sibuk dengan gawai, mencoba menyelam kembali ke dunia maya yang lebih mudah dipahami daripada dinamika yang terjadi di antara mereka.

“Kalau kamu lapar, Bi Murni sudah menyiapkan makan siang,” ujar Kaisar lagi.

Kening Elena sedikit mengkerut. Perkataan basa-basi Kaisar adalah hal yang mengejutkan. Kenapa pria itu bersikap berbeda sejak pagi tadi.

“Iya.”

Kaisar menggeliat canggung, mencoba menemukan kata-kata yang tepat. "Elena, aku... aku ingin bicara tentang pernikahan kita."

Elena merasakan kegelisahan merayap di dalam dirinya. Ia tahu apa yang akan diucapkan Kaisar, dan ia tidak yakin apakah ia siap mendengarnya. "Apa yang ingin kamu katakan, Kaisar?"

Kaisar menarik nafas dalam-dalam, ekspresinya ragu. "Aku ingin kita memperbaiki pernikahan kita, Elena.”

Tubuh Elena merinding seketika. Perkataan Kaisar bagai angin sejuk yang menusuk ke dalam hatinya. Ia merasakan kehadiran yang tidak nyaman di ruangan itu, seolah-olah sebuah badai sedang mengintai di kejauhan. Dengan gemetar, Elena bertanya, "Apa kamu serius, Kaisar?”

“Bagaimana jika kita mencoba untuk menjalani pernikahan yang sesungguhnya?"

Elena bangkit dari posisinya. Ponsel yang tadi di genggam diletakan ke sembarang tempat di sisi tubuhnya. Ia menelaah raut muka Kaisar.

“Sepertinya ada yang salah denganmu. Jika kamu kurang enak badan, sebaiknya istirahat. Aku akan keluar.” 

Elena menyingkap selimut. Beralih dari kasur dengan cepat. Namun, ketika melewati Kaisar pergelangan tangannya digenggam paksa. Pria itu menahannya. Akan tetapi tak membuat Elena lantas membalikan badan.

“Aku serius, Elena.”

“Lepaskan tanganmu!” Elena mencoba menarik tangannya, namun Kaisar tak melepaskannya dengan mudah.

“Lihat aku!” titah Kaisar. 

Elena tak menurut. “Apa yang ada di pikiranmu sekarang singkirkan saja! Aku tidak tertarik menjalani pernikahan denganmu.”

Elena tahu perkataannya kasar. Meskipun begitu, ia tak ingin melunak. Cukup dengan apa yang telah terjadi. Lagipula, pernikahan mereka tidak akan pernah berjalan baik karena ia tahu pasti keinginan kedua orang tua Kaisar, bahkan keluarga pria itu.

Perlahan genggaman erat itu mengendur. Kaisar melepaskan tangannya. Elena berbalik, kini ia dapat melihat ekspresi Kaisar yang tampak kebingungan. Namun, sarat akan pengharapan.

“Aku ingin pernikahan ini berakhir sebagaimana mestinya. Dan aku mohon cukup sampai pernikahan kita berakhir saja aku menjadi pelacurmu.”

Elena langsung berbalik pergi. Tak peduli saat Kaisar akan kembali berbicara. Ia mengeraskan hati dan bersikukuh.

Elena melangkah keluar dari kamar dengan langkah yang mantap, tetapi hatinya terasa berat. Pernikahan yang terjadi karena keadaan terpaksa telah menjadi beban yang tidak terlalu mudah untuk ditanggungnya. Meskipun ia mencoba untuk menerima situasi ini dengan lapang dada, namun kebahagiaan yang sebenarnya terasa begitu jauh dari jangkauan Elena.

Saat berjalan di koridor menuju ruang makan, Elena merenung tentang bagaimana segalanya bisa berakhir seperti ini. Ketika dipaksa menyetujui tawaran keluarga Budiawan untuk menjadi pengganti Clara, dia tidak pernah membayangkan bahwa pernikahan ini akan membawa begitu banyak penderitaan dan kesedihan. Ia pikir semuanya akan tetap berjalan normal.

Disela-sela lamunan. Bi Murni hadir dengan nampan berisikan makanan dan minuman. 

“Permisi Non.”

Sudut bibir Elena tertarik. “Terima kasih Bi.”

“Iya Non. Selamat menikmati!”

Elena mengangguk kecil dan Bi Murni meninggalkan meja makan.

Tangan-tangan Elena mulai mengambil alat makan. Memasukan sesuap makanan ke dalam mulut dengan pikiran berkelana. Pandangannya lurus ke arah depan ketika mengunyah.

Kolam renang. Elena malah membayangkan tentang kejadian tak senonoh yang ia lakukan bersama Kaisar di sana.

Elena tahu, ia tak pernah benar-benar menolak Kaisar ketika pria itu menginginkan tubuhnya. Ia akui bahwa dirinya sangat bodoh. Ia merasa malu dengan dirinya sendiri. Malu karena dia tidak pernah bisa tegas menolak Kaisar. Malu karena dia terlalu lemah untuk mengatakan tidak, bahkan ketika ia tahu bahwa tindakan itu tidak benar.

Mulutnya tiba-tiba terasa masam. Rasa asam di mulutnya bukanlah karena makanan yang disiapkan oleh Bi Murni, tetapi karena rasa bersalah yang memenuhi pikirannya. Ia menyadari bahwa ia telah menjadi bagian dari sesuatu yang tidak seharusnya ia lakukan, bahwa ia telah menyerahkan dirinya kepada Kaisar tanpa mempertimbangkan konsekuensinya.

Pantas saja ia disebut ‘pelacur’, Elena lah yang bodoh tak tegas menolak. 

Elena menarik nafas dalam-dalam, mencoba untuk menenangkan dirinya sendiri. Ia tahu bahwa ia harus menghadapi kenyataan, bahwa ia harus bertanggung jawab atas tindakannya sendiri. Tidak ada gunanya menyalahkan orang lain atau mencari alasan untuk perilakunya.

Elena yakin, Kaisar bukan benar-benar ingin mereka menjalani pernikahan yang sebenarnya. Pria itu hanya membutuhkan dirinya sebagai pelayan di atas kasur lebih lama dari setahun. 

Bisakah disebut cinta jika selama ini Kaisar berbicara padanya hanya disaat-saat menginginkan sesuatu dari Elena? Jelas Kaisar hanya bermodalkan nafsu. Elena tak ingin seperti itu.

Tidak ada momen yang menjadi alasan Elena menerima permohonan Kaisar barusan. Selama ini seingat Elena, ia hanya direndahkan oleh pria itu dan keluarganya. Mungkin Kaisar tak banyak bicara, tapi sikapnya pada Elena telah menjawab dugaan wanita tersebut.

Elena menunduk menatap makanan. Seharusnya tadi ia membawa ponselnya juga, agar pikirannya tidak kacau. Setidaknya ia memiliki pengalihan.

 Setidaknya ia memiliki pengalihan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Jangan lupa votenya tsay 😘

Perfect PainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang