41 Perfect Pain
.
Elena menghirup udara segar saat mereka tiba di sebuah kamar hotel setelah melewati perjalanan selama dua jam setengah. Elena membuka tirai yang menghalangi pintu kaca ke arah balkon, membuka pintu agar udara segar masuk.
Sebuah tangan kekar milik suaminya melingkar di perut Elena yang rata. Elena bersandar seraya menatap langit yang masih amat terang pagi itu. Mereka berangkat di jam tujuh pagi tadi. Beruntung balkon kamar mereka membelakangi matahari terbit, jadi tidak begitu panas.
“Aku akan keluar setelah ini untuk mengecek cabang yang akan segera dibuka di sini, sekaligus bertemu beberapa investor. Apa kamu mau ikut atau tinggal di sini?”
Kaisar ikut memandang ke depan, pemandangan kota Samarinda lah yang dapat ia lihat. Kota yang cukup padat dan sibuk, meski tak sepadat kota tempatnya tinggal.
“Aku tinggal saja. Kapan kamu akan kembali?” Elena malas keluar untuk hari ini. Kepalanya sedikit pusing sehabis turun dari pesawat. Biasanya ia tak pernah merasakan hal serupa. Mungkin memang kondisi tubuhnya kurang baik akhir-akhir ini.
“Mungkin sekitar jam enam atau jam tujuh malam. Apa kamu mau menitipkan sesuatu?” Kaisar menyandarkan dagunya di bahu Elena yang sempit, tangannya bergerak mengusap perut sang istri. Jelas membuat Elena merasa geli.
“Tidak ada.”
“Baiklah. Kalau kamu butuh sesuatu kamu bisa menggunakan telepon untuk memesan sesuatu pada pihak hotel. Atau kalau bosan di dalam kamar, kamu bisa keluar.”
“Iya,” balasnya.
Kaisar menghela napas, tangannya masih berada dalam posisi yang sama. “Aku berharap ada sosok yang hadir di sini. Agar kamu tetap bersamaku,” bisik Kaisar tepat di telinga Elena.
Wanita itu merinding seketika. Keinginan Kaisar adalah hal yang tidak ia inginkan. Elena tak mau terikat lebih lama dengan pria yang kini memeluknya. Akan tetapi, Elena memilih bungkam. Ia tak mau mengungkapkan isi hati dan pikirannya. Berharap bahwa tidak ada sosok bayi hadir diantara mereka.
“Kalau begitu aku berangkat. Hubungi aku jika memerlukan sesuatu!”
“Ya, hati-hati!”
Sebelum melepas pelukannya, Kaisar mencium tengkuk Elena begitu lama sampai akhirnya memilih pergi untuk bekerja. Suara pintu terbuka dan tertutup terdengar di telinganya.
Elena menghela napas gusar. Kalimat yang baru saja Kaisar lontarkan cukup membuat beban di pundaknya bertambah. Ia takut bila kemauan pria itu terjadi, ia takut tak sanggup. Bagaimana ia harus menghadapi semua penolakan serta cemoohan orang-orang terhadapnya nanti? Elena tidak mau dicap sebagai wanita yang memanfaatkan keadaan.
Wanita itu memilih untuk berbaring di atas kasur dengan kaki bergelantung di pinggir kasur. Menatap langit-langit kamar dengan tatapan kosong, namun pikiran berkecamuk.
Elena merasa pikirannya seperti ditarik ke segala arah. Ia merenung, mencoba memahami apa yang membuat Kaisar begitu menginginkannya. Apakah Kaisar dapat dengan begitu mudah jatuh cinta padanya? Atau mungkin ada sesuatu yang lebih dalam, yang tidak bisa Elena pahami?
Namun, di tengah kebingungannya, Elena mulai merasakan keraguan terhadap pendiriannya sendiri. Ia mulai goyah.
.
Kurang dari jam enam, Kaisar telah kembali dari kesibukannya. Sementara Elena berada di kamar dengan baju tidur bergambar boneka beruang berwarna cokelat. Rambutnya diikat tinggi karena baru selesai mandi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perfect Pain
RomanceBagi Elena, pernikahan bersama Kaisar hanyalah sebuah pengorbanan untuk balas budi.