11 Perfect Pain
.
Tiga hari berlalu semenjak kejadian Revano tidur dengan seorang wanita yang Elena tak tahu. Hari-harinya terasa semakin jenuh, kepalanya terkadang pusing karena menangis sendirian didalam kamar. Elena bebas berekspresi karena sejak tiga hari yang lalu Kaisar pergi ke luar kota. Pria itu bahkan berangkat tanpa bicara, pagi-pagi sekali pergi bersama salah satu asistennya. Awalnya Elena pikir, pria itu akan pergi bekerja, namun ia salah. Kaisar tak ada di kantor dan tidak pulang ke rumah selama tiga hari. Ia tahu kemana Kaisar pergi pun dari pembicaraan rekan kerja yang tak sengaja didengar.
Jam dua belas lebih tiga menit, Elena baru menyelesaikan beberapa laporan hasil penjualan di akhir bulan. Wanita itu merenggangkan tubuhnya yang terasa kaku karena sejak pagi duduk dan mengotak-atik keyboard komputer untuk memasukan data penjualan. Beberapa rekan kerjanya telah meninggalkan kubikel masing-masing, termasuk Alya dan Jehan. Dua orang itu dulu cukup sering menghabiskan waktu beristirahat dengannya, tapi kini mereka menjauh, bicara bila perlu saja.
Tak ingin berlarut dengan kesunyian batin, Elena beranjak dari kursinya. Ia ingin makan di salah satu rumah makan Padang, berharap makanan enak itu mampu mengurangi kesedihannya. Akan tetapi, saat ia berbalik seseorang hadir dengan senyum ceria dan melangkah ke arahnya.
"Kakak ipar!" panggilnya saat berdiri tepat di hadapan Elena.
"Tisya?!" Dahi Elena mengkerut bingung atas kehadiran anak bungsu keluarga Jatmika ke ruangannya. Bukan hal lumrah jika Tisya mengunjungi Living With, mengingat ini merupakan perusahaan milik keluarganya.
"Sudah jam istirahat kan? Ayo kita makan siang bersama! Aku ingin mengobrol denganmu, siapa tahu kita bisa berteman baik nantinya." Tisya menggandeng salah satu tangan Elena. Melihat pada Elena yang memiliki tinggi hanya sebatas telinganya.
Elena mencoba melepas tangan Tisya yang menempel di tubuhnya, sedikit canggung dengan sikap adik bungsu Kaisar tersebut. Akan tetapi, Tisya malah makin menguatkan genggaman.
"Ayolah Kakak Ipar! Kamu mau makan dimana?"
Elena ingin menolak, namun tak memiliki alasan yang kuat. Dengan berat hati, kini Elena menuruti kemauan adik suaminya itu. Entah apa tujuan Tisya mendekatinya seperti ini.
"Terserah. Aku ikut saja."
"Yes! Kalau begitu kita makan di restoran A ya, Kakak Ipar? Aku mau mencoba ayam bakar saus Padang." Tisya berseru senang. Menyeret Elena keluar dari ruang kerja staf pemasaran. Ia menggandeng dengan penuh percaya diri, berusaha mengajak Elena berbicara. Beberapa kali membalas sapaan pegawai kantor padanya.
"Hari ini Kak Kai akan pulang. Kamu tahu?"
Mendengar pertanyaan Tisya, Elena menjadi kikuk. Jangankan kepulangan Kaisar, pria itu berangkat ke luar kota saja Elena tahu karena bisik-bisik di lingkungan kantor.
"Iya," balas Elena tak yakin. Ia tak tahu sama sekali tentang jadwal Kaisar, bahkan walau satu rumah, Elena tak memiliki nomor ponsel pria itu.
Ujung bibir Tisya tertarik. Dari sudut matanya, ia dapat melihat ekspresi Elena, tapi, ia tak ingin obrolan itu berlanjut. Ia dapat merasakan ketidak jujuran Elena.
"Kita naik mobilku saja ya, Kakak Ipar?"
"Iya."
Mereka memasuki mobil berwarna merah menyala dengan atap terbuka. Elena tahu mobil mewah itu hampir seharga dua milyar, berbeda jauh dengan miliknya yang tak sampai sepuluh persen dari harga mobil Tisya. Meski begitu ia cukup bersyukur bisa membeli mobil dengan jerih payahnya sendiri.
Sepanjang perjalanan Tisya terus mengoceh, membuat Elena mau tak mau menanggapi pembicaraannya.
"Menurut Kakak Ipar, kenapa Clara bisa pergi di hari pernikahannya?"
Elena yang mulanya menatap lurus ke depan, menoleh pada Tisya. Pertanyaan itu, ia tak memiliki jawabannya. Meski berhubungan dekat dengan Clara, ia tak pernah berpikir bahwa sepupunya itu akan meninggalkan pernikahan yang diimpikannya.
"Aku tidak tahu."
"Benarkah? Bukannya kalian cukup dekat ya? Aku dengar teman Clara juga berpacaran denganmu kan, Kakak Ipar? Kamu masih berhubungan dengan pacarmu itu?"
Mendengar pertanyaan beruntun itu, Elena kini mengerti maksud Tisya menemui dirinya. Pasti ada sesuatu yang ingin ia ketahui.
"Tidak lagi. Kami sudah berakhir."
Ekspresi Tisya tampak terkejut, mulutnya melongo. "Benarkah? Padahal tidak masalah jika Kakak Ipar masih berhubungan dengannya. Lagipula, Kak Kai tidak akan cemburu."
Tanpa Tisya bicara pun, Elana sudah tahu. Lagi pula hubungannya berakhir bukan karena alasan seperti itu. Memang awalnya Elena hanya tak ingin Revano mendapatkan dirinya, akan tetapi pada kenyataannya Revano pun tak sebaik yang ia duga.
"Apa ini alasan mu menemuiku?" Elena langsung bertanya terang-terangan.
"Ah, maaf Kakak Ipar. Aku tidak bermaksud menyinggungmu." Tisya menghela nafas di akhir kalimat, wajahnya tampak lesu. "Ibu meminta ku menemui mu, Kakak Ipar. Aku hanya memastikan agar kamu ataupun Kak Kai tidak saling jatuh cinta. Setelah perceraian kalian nanti, Ibu akan menjodohkan Kak Kai dengan salah satu anak kolega bisnis. Jadi, kuharap Kakak Ipar jangan sampai menaruh hati, karena mau bagaimana pun perceraian kalian sudah pasti."
Elena terkekeh mendengar penuturan tersebut, membuat Tisya mengernyitkan dahi.
"Aku tidak akan jatuh cinta dengan Kaisar. Kalaupun itu terjadi, aku akan memperingatkan diriku bahwa dia tidak akan bisa aku miliki." Jawaban itu disampaikan dengan tenang dan tanpa keraguan.
Tisya berseru. "Baguslah! Aku pegang kata-katamu. Tapi, aku harap kita bisa berteman baik. Setidaknya sebagai teman aku bisa mencegah kamu jatuh cinta dengan Kak Kai."
Elena mengiyakan tawaran tersebut. Berjanji pada dirinya untuk tidak mencintai Kaisar. Lagi pula, pria itu bukan tipenya.
.
Sore hadir dengan langit jingga kemerahan. Elena yang baru pulang dari kantor langsung masuk ke dalam rumah dan membersihkan diri. Cuaca sangat panas saat ia keluar bersama Tisya, meski sering berada dalam ruangan berpendingin tetap saja membuat rambutnya lepek.
Berendam di dalam bak merupakan salah satu cara untuk merilekskan tubuh yang kaku karena seharian bekerja di atas kursi kerja. Elena merasakan kelegaan yang besar saat air dingin menyapu tubuhnya yang lelah. Berendam di dalam bak mandi, dengan aroma harum dari sabun lavender yang disukainya, memberikan kesegaran baru setelah seharian bekerja di kantor.
Ia menutup mata sejenak, membiarkan pikirannya berputar bebas tanpa beban. Rasanya seperti dunia luar menghilang, dan yang ada hanyalah suara gemericik air dan aroma yang menenangkan. Namun, kesenangan itu terputus tiba-tiba ketika pintu kamar mandi terbuka. Elena membuka mata dengan cepat, terkejut melihat Kaisar berdiri di ambang pintu.
"Apa yang kamu lakukan di sini?"
Bukannya mundur, Kaisar berjalan, masuk ke kamar mandi dengan sepatu pantofel yang masih terpasang di kakinya, hingga benturan antara alas kaki dan keramik terdengar menggema. Pintu ditutup olehnya, Kaisar membuka sepatu serta kaos kaki. Meletakkannya di atas lantai secara sembrono.
Jantung Elena berdegup kencang, bertalu-talu akan rasa gugup yang hadir saat Kaisar kini tengah berjongkok di pinggir bak mandi.
"Mandi bersama sepertinya menyenangkan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Perfect Pain
RomanceBagi Elena, pernikahan bersama Kaisar hanyalah sebuah pengorbanan untuk balas budi.