44

856 69 19
                                    

Pagi - pagi buta Zane sudah bersiap untuk melakukan perjalanan kembali menuju Italia. Rhea dan Gama mengantar Zane terlebih dahulu menuju bandara sebelum mereka nanti akan di sibukkan oleh acara kampanye terakhir yang akan berlangsung siang nanti.

"Kau tidak ingin sarapan dulu, Zane?"
Rhea bertanya pada Zane yang berjalan di sampngnya sembari menarik kopernya.

"Aku bisa memesan kopi nanti di pesawat, jangan lupa nanti kalian datang di acara pernikahan Johan ya. Dan jika sesuatu terjadi cepat hubungi aku, Nala. Jaga dirimu baik - baik."
Zane memeluk Rhea sembari menghujani kecupan - kecupan hangat di atas puncak kepala gadis itu.
"Titip Nala ya Gam, jika dia terlalu keras kepala tinggalkan saja dia."
Sambung Zane sembari menepuk bahu Gama pelan.

"Safe flight, Zane. Sampai bertemu lagi."
Balas Gama memberikan pelukan singkat pada Zane yang masih di peluk erat oleh Rhea.
"Saya berjanji akan menjaga adikmu yang manja ini, dan jika dia terlalu keras kepala maka saya akan menghukumnya. Lalu untuk meninggalkannya seperti nya itu mustahil."

"Baiklah, kalian baik - baik ya. Aku pulang dulu."
Zane tersenyum sembari melepaskan pelukan Rhea, kemudian pergi masuk kedalam bandara.
Begitu jelas kesedihan di wajah Rhea, mata nya nampak berkaca - kaca ketika Zane berbalik sembari melambaikan tangan tanda perpisahan.

"Bulan depan kita ke akan menyusul Zane ke Italia untuk menghadiri pernikahan Johan. Jadi sekarang ayo kita pulang, tiga jam lagi kampanye Bapak akan segera berlangsung."
Gama merangkul Rhea dan mencoba memberikan ketenangan pada kekasihnya itu. Mau bagaimana pun Zane adalah bagian dari hidup Rhea sebelum ia datang. Maka dari itu Gama selalu menghalau perasaan cemburu setiap kali Rhea berinteraksi dengan Zane. Sebab Gama yakin jika ketika Rhea menganggap Zane sebagai Kakaknya, maka tidak akan pernah timbul perasaan lebih dalam hati kekasihnya itu.

"Bagaimana jika kita mampir ke Mama dulu, Sayang? Kemarin Mama bilang mau ikut kampanye, jadi sekalian kita jemput saja ya."
Ajak Gama ketika keduanya saat ini sudah berada di dalam mobil Gama.

"Boleh, jadi nanti aku bisa ada teman."
Ungkap Rhea begitu antusias.

"Tapi nanti tidak boleh di bawah panggung ya?"
Titah Gama sembari melajukan mobilnya dengan satu tangan seperti biasa.

"Tidak - tidak, aku tidak setuju dengan perintah yang satu itu."
Rhea menolak perintah Gama sebab sejak kemarin ia bersikeras untuk ikut serta bersama masyarakat mengikuti kampanye di bawah panggung.

"Jadi tidak mau menurut apa kata Mas, ini?"
Tanya Gama lantas melepaskan genggaman tangan Rhea.

"Kali ini saja. Bahkan sebelum - sebelumnya aku tidak pernah ikut dan merasakan bagaimana euforia saat kampanye. Jadi kurasa ini sangat wajar."
Rhea berdalih supaya Gama tidak memarahinya, sebab saat ini raut wajah Gama nampak serius seperti pertama kali Rhea bertemu dengannya.

"Jangan membuat saya kepikiran, bisa?"
Ujar Gama dengan begitu tegas namun terdengar ketus di telinga.
Rhea hanya diam tanpa mau menjawab ucapan Gama, sampai akhirnya kedua nya kini sudah tiba di halaman rumah Mama Gama.

Rhea memutuskan turun dari mobil terlebih dahulu tanpa menunggu Gama membukakan pintu untuknya, gadis itu segera menghampiri Mama Gama yang sejak terdengar suara mobil Gama memasuki pekarangan rumahnya, wanita paruh baya itu langsung keluar untuk menyambut putra bungsu nya.

"Loh Gama datang sama Rhea? Kapan kembali, Sayang? Ini juga lengannya kenapa?"
Mama Gama cukup terkejut sebab Gama datang bersama dengan Rhea sebab yang beliau tahu gadis itu masih di Italia saat ini.

"Rhea sudah hampir dua minggu di rumah, Tante. Tante sama Om apa kabar?"
Sapa Rhea lantas membalas pelukan Mama Gama meskipun hanya dengan satu tangan saja.

Not As Beautiful As Love Should BeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang