07

1.1K 75 4
                                    

Pagi ini kediaman Dhanurendra sudah lumayan ramai, para ajudan dan asistennya nampak sedang melatih diri di ruang khusus yang telah di sediakan alat alat untuk gym. Hari ini tidak ada kegiatan penting pada jadwal Dhanurendra, hanya beberapa kunjungan untuk menghadiri undangan saja. Jadi banyak waktu luang yang bisa mereka gunakan untuk sedikit bersantai.

Dhanurendra tersadar jika sejak semalam sepulang dari kediaman Diana, ia sama sekali tak melihat keberadaan Rhea. Dhanurendra menduga gadis itu masih tertidur, sebab semalam saja setiba dirumah gadis itu sudah tertidur dan harus di gendong Rizky untuk menuju kamarnya.

"Gama, bisa tolong lihat keadaan Rhea? Saya khawatir jika dia jatuh sakit."

Gama mengeryit, pria itu baru saja tiba di kediaman Dhanurendra dan tiba - tiba di suruh untuk melihat kondisi putri kesayangannya. Gama tidak tahu apa yang terjadi selanjutnya sepulang dari kediaman Diana.
"Baik Pak."
Sekacau apapun perasaan Gama saat ini, perintah Dhanurendra tetap harus ia laksanakan. Ia tidak akan pernah membantah. Meski sewaktu di rumah Giselle tadi Gama sudah berniat dan membulatkan tekad untuk menjaga jarak dengan Rhea, namun harus ia gagalkan karena perintah Dhanurendra adalah yang utama.

Dengan detak jantung yang tidak normal Gama membuka perlahan pintu kamar Rhea, setelah di ketuk beberapa kali namun tidak ada jawaban akhirnya membuat Gama bertekad untuk masuk saja.
Pemandangan pertama yang Gama lihat adalah kamar yang tertata rapi, pria itu cukup terkejut melihatnya sebab tidak ada nuansa merah mudah atau ungu seperti ciri khas kamar perempuan pada umumnya. Cenderung ke warna warm tone.
Ada sesuatu yang menyentuh sudut hati nya saat mendapati sesosok perempuan tengah meringkuk di atas tempat tidur dengan laptop yang masih menyala disisinya, serta alunan musik klasik yang terdengar dari sebuah alat musik portabel yang terletak disisi laptopnya.

Dengan perlahan Gama berjalan mendekat, ia tak ingin suara derap langkahnya membuat Rhea terbangun. Dengan pelan Gama meraih laptop itu dan berniat untuk mematikannya, namun sekejab ia terdiam. Tulisan Rhea seakan menampar dirinya dengan keras.

"Menangislah"
karena air mata itu bukanlah tanda kelemahan,
Tetapi bukti bahwa kita masih memiliki perasaan.

Gama terduduk di tepi ranjang milik Rhea, mencerna setiap kata yang Rhea tulis di laptopnya. Lagi - lagi Gama merutuki apa yang telah ia lakukan pada gadis itu. Sebenarnya ini tidak serumit itu, tapi Gama sendiri lah yang membuat semuanya menjadi sesulit ini.

"Apa yang kau lakukan di kamarku?"

Gama tersentak ketika suara Rhea yang terdengar lemah mencoba menginterupsi nya.
Gama menoleh dan cukup terkejut ketika mendapati Rhea terduduk dengan wajah yang begitu pucat dan kelopak mata yang lumayan bengkak.

"Hei, apa kau baik - baik saja?"
Gama segera mengecek dahi Rhea yang rupanya cukup terasa panas.
"Kau demam? Apa ada termometer?"

"Ada di dalam laci di sebelahmu."

Dengan sigap Gama segera membuka laci yang terletak persis disisi ranjang Rhea. Gama menemukan termoter itu namun juga sebuah kotak yang bertuliskan "spesial untuk Letkol Gama."
Tapi ini bukan waktu yang tepat untuk mendapatkan jawaban dari rasa penasaran itu.
Gama segera meminta Rhea untuk menaruh termoter ity di sela - sela ketiaknya.

"Astaga tiga puluh sembilan koma enam, ini suhu nya tingga sekali Rhe. Kamu diam disini akan saya ambilkan kompres dan memanggil dokter segera."
Gama membantu Rhea untuk kembali rebahan, lantas keluar untuk mengambil kompresan dan menelepon dokter.

"Gama bagaimana Rhea? Apa dia baik - baik saja?"
Dhanurendra menghadang jalan Gama ketika ia ingin pergi ke paviliub untuk mengambil kompresan yang ia simpan di dalam kamarnya.

"Rhea benar  sakit Pak. Suhunya sangat tinggi dan ini saya mau mengambil kompresan di kamar saya. Dan saya juga sudah menghubungi Dokter Aryan untuk segera memeriksa kondisi Rhea."

"Ya sudah cepat ambil kompresannya, Bapak mau melihat keadaan Rhea dulu."

Dhanurendra yang di dampingi oleh Rizky pun menuju kamar Rhea, sementara Gama segera berlari menuju kamarnya untuk mengambil apa yang ia butuhkan.
Tak butuh waktu lama, Gama sudah kembali dengan kompresan berbentuk gel dengan perekat jadi tidak perlu menggunakan kain basah untuk mengompresnya.

"Aku taruh di dahi dan di belakang leher kamu ya."
Ucap Gama sembari membantu Rhea untuk bangun.

Sementara itu Dhanurendra dan Rizky hanya saling pandang melihat interaksi di antara Gama dan Rhea.

"Bagaimana bisa sakit? Kamu pucat sekali dan mata mu juga bengkak."
Tanya Dhanurendra sedikit curiga, sebab tidak biasanya Rhea sakit seperti ini.

"Rhea semalam tidur Pak, bahkan saat saya menggendongnya ke kamar Rhea masih tertidur pulas."
Rizky menimpali, ia tak ingin Rhea mendapat amukan dari Sang Ayah. Meskipun sebenarnya Rizky tahu semua apa yang telah terjadi pada Rhea dan Gama semalam di tepi kolam rumah Diana.

"Sudah Rhea baik - baik saja kok, ini demam hanya karena Rhea masih belum bisa adaptasi masalah waktu dan cuaca disini dan di Itali."
Ucap Rhea menengahi.

Beberapa menit kemudian Dokter Aryan datang dan segera memeriksa keadaan Rhea. Selesai cek suhu, Dokter Aryan memeriksa Rhea menggunakan stetoskop yang ia letakkan di dada sebelah kiri lalu ke area perut. Tak lupa juga untuk mengukur tekanan darah.
Dengan menghela nafas Dokter Aryan mencoba menjelaskan apa yang terjadi pada Rhea.

"Tensinya sangat rendah, yakni delapan puluh per tujuh puluh. Dan kenaikan asam di lambungnya juga cukup tinggi. Apakah Rhea punya riwayat Gerd?"
Dokter Aryan bertanya namun tidak ada satupun orang yang menjawab pertanyaan Sang Dokter.
"Baiklah, saya akan tinggali resep. Jangan telat makan, jangan terlalu lelah, dan jangan banyak pikiran Rhea."
Ucap Dokter Aryan seraya pamit undur diri. Kepergian Dokter Aryan diiringi oleh Dhanurendra dan juga Gama. Sedangkan Rhea di temani Rizky di dalam kamar.

"Jadi semalam kamu tidak tidur? Lihat mata mu bengkak, wajahmu pucat. Kamu terlihat sangat berantakan Rhea."
Rizky menarik sebuah kursi kecil untuk duduk di sisi ranjang yang Rhea tempati.

"Aku tidak tahu apa - apa soal Letkol Gama, dan kurasa perlakuan Gama ke aku itu sangat menyakitkan."

"Mau bicara? Abang akan beritahu semuanya. Abang sudah cukup pusing melihat perseteruan di antara kalian berdua."
Ucap Rizky geram. Bagaimana tidak? Rizky selalu ada di antara mereka dan menyaksikan keduanya terlibat dalam kemarahan dan kekecewaan itu membuat Rizky pusing.
"Kita ke taman belakang saja ya. Abang ambil kursi roda dulu."

"Aku bisa jalan kaki Bang."

"Ini nih ini, yang menyebabkan pertempuran itu karena kamu terlalu keras kepala."
Sungut Rizky.
Tanpa meminta persetujuan Rhea lagi, Rizky lantas mengambil kursi roda untuk mengajak Rhea berjalan - jalan ke taman belakang. Tak lupa Rizky memakaikan cardigan dan syal supaya Rhea tidak kedinginan, meskipun hari sudah cukup siang.

"Aku jadi seperti orang yang sedang sekarat."
Dengus Rhea, ia ingin sekali memprotes atas perlakuan Rizky namun ia terlalu lemah untuk melakukan itu.

"Hus, bicara apa kamu ini?"

"Bang Rizky terlalu berlebihan memperlakukan aku."

"Diam Rhea, atau kamu tidak akan mendapatkan cerita tentang Letkol Gama."

"Oke baik - baik. Aku kalah sekarang."

"Anak pintar, ayo kita ke saung di tepi kolam ikan itu. Disana cukup sejuk dan kamu tidak akan kepanasan."
Ajak Rizky.

"Bagaimana aku tidak kepanasan, Bang Rizky saja memakaian aku cardigan tebal dan syal. Rasanya seperi di rebus ini Bang."
Omel Rhea dalam hati...

Gadis itu tak berani lagi membantah ucapan Rizky daripada tak mendapatkan informasi apapun tentang Gama. Semalam saja ketika Rizky mengantarnya ke tempat tidur Rizky tidak mau berbicara yang sesungguhnya tentang Gama meskipun Rhea terus mendesaknya. Namun tiba - tiba saja saat ini Rizky ingin memberi tahu hal yang ingin di ketahui Rhea tentang Gama.

_connect immediately_

Not As Beautiful As Love Should BeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang