67

665 88 57
                                    

Gama terkesiap dari tidur pulasnya, mimpinya seolah - olah begitu nyata dan seperti sebuah tamparan yang keras baginya. Pria itu nampak terengah sembari menyandarkan diri di kepala ranjang. Peluh nya berjatuhan, meski kondisi kamarnya dalam keadaan dingin karena air conditioner.
Suara itu seperti terus menerus terngiang di kepalanya.
Tangisan bayi dan bayangan Rhea yang melambaikan tangan kepadanya, Gama tidak mengerti. Apa yang sebenarnya terjadi.
Gama meraih ponselnya di atas nakas, sepertinya ia butuh relaksasi sebab mimpinya membuat dirinya tak bisa tidur kembali.
Gama membuka pesan serta email yang masuk, dan betapa terkejut dirinya sewaktu mendapatkan sebuah foto dan pesan singkat.
Pria itu sontak menutup mulutnya seolah tak percaya, hampir tujuh bulan dirinya tak bertemu dengan gadis kecintaannya, dan kini sebuah kabar ia dapat bahwa gadis itu melahirkan seorang bayi tampan dan Gama sangat yakin jika itu adalah putranya.
Air matanya meleleh, ia merasa sangat berdosa dan bersalah kepada kedua orang yang saat ini berjauhan dengannya.
Badan Gama seolah lemas tidak bertenaga, baru kali ini ia merasa menjadi seorang paling bodoh yang ada di dunia ini.

Sementara itu di ruang kerja Dhanurendra, ia terlihat begitu terharu ketika Aji dan Rizky datang membawa sebuah berita tentang kelahiran anak Rhea. Pria paruh baya itu nampak menitikkan air mata kala menatap foto bayi yang tak lain adalah cucunya, begitu lucu dan sangat tampan.
"Jadi Rhea sudah melahirkan? Bagaimana keadaannya?"
Tanya Dhanurendra, sebab dalam pesan tersebut hanya di katakan bahwa Rhea telah melahirkan serta foto cucunya yang begitu menggemaskan. Tidak ada foto Rhea dan kabar dari anak perempuannya saat ini.

"Kami tidak mendapatkan informasi tentang Rhea, Pak. Johan hanya mengirimkan foto bayi itu saja dan mengatakan bahwa Rhea sudah melahirkan."
Ungkap Aji, mengapa Aji? Sebab saat insiden di Palazzo Santa Chiara saat itu Aji ikut bersama Rhea dan Gama jadi, ia sempat kenalan dengan Johan yang tak lain adalan asisten dan tangan kanan Zane.

"Kalian berangkatlah ke Italia malam ini, pastikan bahwa kondisi Rhea dan cucu saya baik - baik saja."
Titah Dhanurendra tiba - tiba saja ia diliputi rasa cemas sebab kabar tentang putrinya tak ia peroleh.

"Lalu Bapak?"
Tanya Rizky.

"Bapak tidak bisa ikut, sebab selama lima hari kedepan Bapak harus ke Belanda untuk kunjungan kerja."
Ungkap Dhanurendra.

"Bang Gama bagaimana, Pak?"
Imbuh Aji, ia melirik Rizky sekilas sebab sejak tadi atasannya itu sama sekali tidak menyinggung nama Gama yang di yakini adalah Ayah biologis dari bayi itu.

"Jika Gama sudah bersedia menikahi Rhea, maka saya ijinkan dia untuk bertemu dengan Putri dan Cucu saya. Dan seandainya dia masih enggan untuk menikahi Rhea, maka selama itu pula saya rela jika anak saya harus menjadi orang tua tunggal."
Dhanurendra berkata penuh penekanan, ia sama sekali tak takut jika suatu saat media mengetahui perihal putrinya, dan cucu yang lahir tanpa seorang ayah. Semua akan Dhanurendra hadapi.

"Baik Pak, kalau begitu kami minta ijin untuk bersiap - siap."
Ujar Rizky, ia segera menarik tangan Aji keluar dari ruang kerja Dhanurendra untuk bersiap ke Italia saat itu juga.
Kedua nya saling diam ketika melewati lorong dari rumah utama menuju paviliun. Rizky dengan segala dugaannya selama ini dan ternyata benar. Dan Aji dengan segala kekhawatirannya jika benar apa yang di katakan atasannya, seandainya rekannya itu tidak bersedia menikahi anak atasannya, maka bayi itu akan di besarkan tanpa sosok ayah. Aji menggeleng dengan rasa hati yang berdesir, membayangkannya saja ia tidak sanggup.

...

"Sudah hampir satu minggu Mama mu belum
bangun - bangun juga. Apa mimpinya terlalu indah?"
Zane menatap sendu box bayi dimana bayi Rhea tengah meminum susu formula dari dor yang di pegangi oleh Gwen.
"Bahkan Daddy belum bisa memberimu nama. Tapi Daddy akan memanggilmu, King. Kelak kamu akan menjadi pemimpin di masa depan. Menangislah yang kuat, supaya Mama mu bisa cepat bangun lalu menggendongmu."
Zane berangsur pergi sebab ia tak mau terlihat lemah di hadapan keponakan laki - lakinya.
Di lorong rumah sakit Zane berjalan menuju ruang ICU untuk melihat keadaan adiknya. Yang ia tahu selama ini adiknya itu sangat baik - baik saja, ia tidak pernah tahu bahwa ternyata adiknya menyimpan banyak pikiran hingga membuatnya stres dan harus mengalami komplikasi kehamilan yang bisa saja merenggut nyawa nya sewaktu - waktu. Zane merasa sangat bersalah, dan jika saja bisa. Ia ingin menggantikan posisi Rhea supaya bisa segera menggendong anak laki - lakinya.

Not As Beautiful As Love Should BeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang