20

1.1K 70 14
                                    

"Abang bawa Rhea kemana?"
Cecar Rizky dari balik teleponnya. Pria itu nampak senewen sebab setibanya mereka di kediaman Dhanurendra, mereka tak mendapati Rhea ataupun Gama disana. Seharusnya kedua anak manusia itu tiba lebih awal sebab keduanya meninggalkan lokasi pertandingan terlebih dahulu.

"Maaf Riz, Abang lupa memberi tahu mu. Ponsel Bapak juga ternyata ada pada saya. Tolong sampaikan ke Bapak jika saat ini Rhea ada bersama saya. Saya mengajaknya mampir ke rumah orang tua saya."
Ungkap Gama dari balik ponselnya.

"Ya sudah kalau begitu. Selama Rhea aman, itu tidak masalah. Nanti aku sampaikan ke Bapak."
Ucap Rizky lantas mematikan sambungan teleponnya dengan Gama.

Gama menghembuskan nafas lega. Bisa - bisa nya ia lupa mengabari rekannya telah membawa Rhea pergi bersamanya.

"Ya sudah kalau semua sudah aman Mama tinggal ke dalam dulu ya. Sepertinya Papa butuh Mama."

"Mbak juga masuk ke dalam ya, anak - anak pasti sudah pada ngantuk."

Akhirnya Gama di tinggal berdua dengan Rhea di ruang makan tersebut.
"Mas, Rhea mau bicara sebentar bisa?"

"Ada apa? Kamu mau menjawab pernyataan Mas yang waktu itu?"

"Bukan, bukan itu. Belum saat nya."
Rhea tersenyum kecil sementara Gama hanya tertawa.
"Jadi, lusa aku berangkat ke Itali."
Ucap Rhea dengan serius. Sementara itu Gama menoleh ke arah Rhea lantas melayangkan tatapan tajam.

"Mendadak? Bukankah kamu bilang masih minggu depan pergi nya?"
Gama berdiri dari tempat duduknya, raut wajahnya nampak kesal. Sebab tiba - tiba saja Rhea mempercepat keberangkatannya.

"Mas jangan marah seperti itu."
Rhea kebingungan melihat Gama yang tiba - tiba pergi meninggalkannya di taman dekat kolam renang di belakang rumahnya.

Rhea akhirnya menyusul Gama ke belakang. Di lihatnya pria itu tengah duduk di gazebo menghadap ke arah kolam renang.
"Mas."
Rhea berjalan mendekat lantas duduk di samping Gama yang tiba - tiba saja membuang muka padanya.
"Kamu marah?"
Tanya Rhea lagi, namun hening tak ada sepatah kata pun keluar dari mulut Gama.
Rhea lantas meraih tangan Gama dan menggenggamnya dengan erat, meski posisi Gama masih sama. Tidak mau menatap Rhea yang sejak pertemuan pertama mereka Rhea adalah pemandangan paling indah bagi Gama.

"Mas, aku menemukanmu,
Si mata teduh yang membuat jantungku berdetak dua kali lebih keras,
Pemilik jemari pengisi ruang jariku yang kosong.
Begitu pas, tak ingin tergantikan.
Bisakah kita berjanji untuk tidak menyerah suatu hari nanti?
Bisakah bertahan sekali lagi, jika terlanjur ingkar?
Berjuanglah bersamaku, kita temukan  bersama apa itu bahagia.
Mau ya?"

Gama akhirnya menoleh lantas memeluk Rhea dengan erat. Ada rasa pedih di sudut hati Rhea ketika Gama memeluknya seerat itu. Pedih sebab apa pun Rhea juga tidak tahu. Perasaannya sangat sulit untuk di jabarkan.

"Cepat kembali ya."
Bisik Gama dalam posisi masih memeluk Rhea.

"Bisa lebih sedikit sabar untuk itu? Jika urusanku disana cepat selesai, maka aku akan cepat kembali. Jika saat pemilu nanti aku tidak kembali. Maka aku minta tolong titip jaga Papa, Ibu dan Kak Heidy ya Mas."

Gama melepaskan pelukannya lantas menatap Rhea begitu lekat.
"Kamu pasti akan segera kembali, Rhea. Dan kamu akan kembali dengan jawaban itu."
Entah keberanian darimana tiba - tiba saja Gama meraih tengkuk Rhea lantas mencium bibir gadis itu tanpa penolakan sedikit pun.
Keduanya saling terpejam menyelami hasrat dari apa yang tengah mereka lakukan.

...

"Berhenti menyembunyikan Nala dariku, Cath!"

Catharina menatap tajam sosok pria yang berteriak dengan keras kepadanya saat ini. Catharina akui pria itu begitu tampan dan sangat menawan untuk di kagumi. Akan tetapi sifat tempramental nya tentu saja membuat siapapun akan berpikir berkali - kali untuk ada niatan hanya sekedar dekat dengannya.
Ialah Zane Marvori. Pengusaha dunia bawah yang sangat di takuti, termasuk oleh pemerintah Italia.

"Cepat katakan dimana Nala? Dan jangan bilang kalau Nala tidak akan pernah kembali."

"Bisakah kau tidak berteriak di depanku, Zane? Aku tidak tuli. Dan satu hal, Nala akan kembali lusa. Jadi kau tidak perlu terus menerus mencariku seperti ini."
Amuk Catharina. Gadis scorpio itu terlihat begitu emosional di perlakukan dengan sangat buruk oleh Zane.

"Bisakah ku pegang kata - katamu? Menurutku ucapan mu hanya bualan saja Cath."

"Kau tidak percaya padaku? Sedangkan apapun tentang Nala aku yang tahu. Kau jangan gila Zane, Nala masih punya keluarga. Dan Nala berhak pergi mengunjungi keluarganya."

"Aku gila karena sahabatmu itu, Cath. Dia tiba - tiba saja menghilang tanpa satu pesan pun, tidak seharusnya dia pergi begitu saja, Nala milikku. Dan sampai kapan pun akan tetap seperti itu."

"Lalu hanya karena Nala kau kembali memasok senjata - senjata mu untuk Rusia? Itu akan membuat Nala membenci mu Zane. Camkan itu."

Pria berkumis tipis serta memiliki jenggot rapi itu nampak terdiam. Sebab ucapan Catharina menurutnya ada benarnya. Emosi telah membutakan mata hati Zane. Bagaimana tidak? Pagi itu Zane mendapati Nala yang tak lain adalah Rhea yang tiba - tiba saja pergi dari mansion nya. Entah darimana ia bisa lolos dari penjagaan, yang jelas itu semua membuat Zane begitu murka. Beberapa anak buah nya mendapatkan luka tembak hanya karena tidak becus menjaga pintu utama sehingga Rhea berhasil meloloskan diri dari cengkeramannya.

"Jika dalam waktu lima hari Nala belum juga sampai disini, maka nyawa mu yang akan menjadi ganti nya."
Ancam Zane lantas pergi dari apartemen tempat Catharina dan Rhea tinggal.

Catharina hanya mampu mengumpati Zane setelah pria itu pergi. Bagaimana tidak? Ia sangat kesal dengan sikap Zane yang begitu kekanakan. Sebab ketika di sisi Rhea, sosok Zane yang beringas dan brutal akan berubah menjadi sosok yang lembut, manis bahkan penurut. Sangat berbanding terbalik bukan? Catharina saja heran, bagaimana seorang Mafia kelas berat seperti Zane bisa di luluhkan oleh seorang Rhea? Catharina tidak mengerti dan tentu saja itu membuatnya sangat pusing.

...

"Mas minta maaf."
Gama mengusap bibir Rhea yang basah karena ulahnya, sementara Rhea tak mampu menyembunyikan warna merah yang terlihat jelas di wajahnya.
"Kita pulang sekarang ya."
Ajak Gama ketika melihat jam yang bertengger di pergelangan di tangan kirinya menunjukkan sudah hampir tengah malam.

"Ya sudah ayo."

Gama pun berdiri kemudian kembali menggenggam tangan Rhea untuk memasuki rumah. Kedua nya berniat untuk berpamitan, namun seisi rumah sepertinya sudah tertidur pulas.

"Apa tidak masalah jika kita pergi begitu saja?"
Tanya Rhea sembari menghentikan langkah Gama yang hampir saja tiba di ambang pintu utama.

"Mereka sudah tertidur Rhea, jika kita membangunkan mereka itu malah akan jadi masalah. Biarkan mereka beristirahat."
Ucap Gama meyakinkan gadis yang beberapa menit tadi tengah menarik - narik ujung kaosnya.

"Uumm, ya sudah ayo pulang kalau begitu."
Rhea pun pasrah, akhirnya kedua nya pergi meninggalkan rumah Gama hanya dengan meninggalkan pesan pada security yang berjaga.

Selama dalam perjalanan Rhea banyak terdiam, meskipun Gama masih tetap menggenggam tangannya namun Rhea masih asyik dengan segala yang berputar di dalam isi kepalanya. Dan tentu saja itu tentang Zane.

Rhea masih ingat betul bagaimana awal mula kisah ia bisa terjebak dalam kondisi yang menurutnya sangat berbahaya. Sebab pertemuannya dengan Zane bukanlah hal yang di sengaja. Dan karena itu pula pihak pemerintah Itali meminta tolong padanya untuk membantu bernegosiasi supaya Zane tidak lagi menjual senjata - senjata produksinya untuk Rusia. Rhea yang tidak tahu apa - apa hanya bisa pasrah. Dan pertemuan demi pertemuan itu membuat Zane jatuh cinta pada sosok Rhea yang begitu pemberani dan keras kepala. Rhea masih ingat dengan jelas saat Gama menodongkan senjata api padanya. Namun semakin kesini Zane justru jatuh cinta dan menganggap Rhea adalah miliknya, meskipun Rhea sama sekali tidak pernah mengakui bahwa ia menjalin hubungan dengan Zane.
Entahlah ini begitu rumit dan Rhea harus segera menyelesaikan urusannya dengan Zane, secepatnya.








_connect immediately_

Not As Beautiful As Love Should BeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang