Dhanurendra beserta para staff nya kini telah kembali ke Indonesia untuk kembali memulai kegiatan kampanye yang sempat di undur sebab menghadiri acara Heidy di Italia. Setiba di kediaman Dhanurendra, Gamaliel segera menuju kamar Rhea untuk beristirahat, sementara yang lain menuju paviliun seperti biasa.
Gama menuju sofa berwarna pastel tempat dimana gadisnya sering duduk untuk mengerjakan pekerjaan disana. Pria itu kembali membuka sebuah buku catatan berwarna merah muda untuk menuliskan sesuatu disana.Rhea, seberuntung itu saya akhirnya bisa memenangkan kamu. Karena cacat dan lukaku yang kau rawat. Karena lemah dan rapuhku yang kau jadikan kuat. Maka apalagi yang harus kucari saat Tuhan memberikanku Kamu?
Tempat dengan ketentraman seperti apalagi yang harus saya singgahi jika kini, kamu duniaku, yang senantiasa duduk manis untuk menatap ku?Rhea, beri tahu Mas apapun yang menjadikanmu gundah. Jadikan saya seseorang yang kau inginkan ada saat kau mulai resah. Saya akan datang dan mendengarnya satu persatu. Akan ku damaikan kekalutan mu seperti dulu saat kamu datang menghampiri aku dan menyelamatkan seluruh haru biruku.
Jadikan Mas satu - satunya yang melihat kekacauan mu.
Agar hanya Mas yang mengerti akan dirimu.Gamaliel tersenyum sembari menutup buku tersebut lantas menyimpannya kembali ke dalam laci.
Semua akan kembali seperti semula, menyusun semua agenda Dhanurendra untuk melaksanakan kampanye di berbagai tempat. Menghubungi berbagai vendor untuk mengatur acara sedemikian rupa supaya semuanya berjalan lancar.
Jam telah menunjukkan pukul lima sore dan sebentar lagi Gama harus menyiapkan segala kebutuhan Dhanurendra untuk terbang ke provinsi lain untuk melakukan kampanye lagi."Permisi, Pak."
Gamaliel menyapa Dhanurendra yang nampak tengah asyik membaca koran di atas kursi rotan menghadap ke jendela yang mengarah ke taman."Ada masalah apa, Gam?"
Dhanurendra bertanya tanpa menoleh kearah Gama, sebab berita hari ini begitu menarik baginya."Saya hanya mau menyiapkan keperluan Bapak saja, sebab tiga jam kita harus terbang ke Manado untuk kampanye lanjutan, Pak."
Ungkap Gama. Pria itu berjalan menuju lemari besar disisi ranjang Dhanurendra, mengambil sebuah tas jinjing untuk memasukkan semua apa yang Dhanurendra butuhkan."Oh iya - iya. Saya sedang membaca berita hari ini dan itu tentang kamu. Rupanya kamu begitu populer saat ini, bisa - bisanya sampai masuk surat kabar."
Ungkap Dhanurendra sembari menunjukkan foto Gamaliel yang terpampang begitu besar di sebuah halaman surat kabar yang Dhanurendra pegang.
"Rupanya saingan Rhea begitu banyak, ya."
Sambung Dhanurendra lagi, lantas tertawa."Tapi tetap Rhea lah pemenangnya Pak. Bapak tidak perlu khawatir."
Gama menjawab dengan senyum yang terkembang, menyebut nama Rhea selalu ada perasaan membuncah didalam hatinya."Sebenarnya dari awal pengangkatanmu menjadi ajudan Bapak, Bapak sudah berniat untuk menjodohkan kamu dengan Rhea. Namun Bapak urungkan sebab Rhea selalu marah - marah jika di singgung soal pasangan. Tapi rupanya alam telah merestui apa yang menjadi keinginan Bapak, kalian saling jatuh cinta dan menjalin kasih sekarang."
Dhanurendra melipat surat kabar yang sejak tadi di pegang nya, lalu menggeser tempat duduknya untuk menatap Gama yang terlihat lumayan sibuk memasukkan beberapa pakaian yang akan di kenakan oleh Dhanurendra nanti."Awalnya saya terlalu takut, mengingat status saya dan status Rhea begitu berbeda. Dan saya juga butuh waktu ber minggu - minggu sampai pada akhirnya Rhea bersedia menjawab perasaan saya. Ternyata saya seberuntung itu."
Ungkap Gama lagi, menceritakan tentang Rhea selalu memberikan kesan tersendiri bagi pria tersebut."Apapun itu pasti Bapak dukung, tapi Bapak juga tidak mau terlalu ikut campur masalah kalian berdua. Kalian sudah sama - sama dewasa, jika suatu waktu ada masalah bisa di bicarakan baik - baik."
"Siap Pak."
....
Kondisi Zane sudah mulai membaik dan kini pria itu tengah menikmati pagi bersama Rhea dengan secangkir kopi Sembari menikmati matahari terbit di taman belakang Mansion.
"Hari ini aku ada pertemuan dengan orang perusahaan."
Ungkap Rhea sembari menyesap kopi hitam tanpa gula yang selalu menjadi favoritnya."Perusahaan yang mana?"
Tanya Zane dengan tatapan heran."Perusahaan penerbit Tuan Zane Marvori yang terhormat. Kau pikir perusahaan mana? Apa jangan - jangan kau sudah mempersiapkan sebuah perusahaan untuk ku kelola ya?"
Rhea berkata sembari memicingkan matanya, entah sejak kapan menjahili Zane merupakan sebuah kesenangan tersendiri untuk gadis itu."Sepertinya aku sudah salah mengadopsi mu. Tapi itu bukanlah hal besar, memiliki adik perempuan ternyata cukup menyenangkan meskipun faktanya kau begitu menyebalkan."
Zane mencibir lantas menyentil ujung kening Rhea dengan pelan.
"Jadi kau kembali bekerja lagi?""Aku sangat bosan menikmati kemewahan ini, Zane."
"Kau, kenapa menjadi menyebalkan seperti ini, Nala? Kau di rumah saja, tidak perlu repot - repot bekerja. Cape mengejar deadline dan sebagainya. Kalau kau kerja lantas siapa yang akan menghabiskan semua uangku?"
Sahut Zane lagi."Bukankah kau tahu jika aku sangat tidak suka berdiam diri di rumah saja, aku mau kembali bekerja di kantor."
Lagi - lagi Rhea membantah ucapan Zane, sebenarnya ingin bertemu dengan orang perusahaan itu hanyalah alibi bagi Rhea. Sebab sesungguhnya ia akan menemui Roberto Camarri seperti apa yang telah ia rencanakan bersama Johan."Jika ada obat untuk seseorang yang keras kepala maka aku akan membelinya dan segera ku suntikkan padamu."
Dengus Zane sembari menghela nafasnya berat., berbicara dengan Rhea sama saja menguras kesabarannya."Apa kau mau memiliki adik idiot? Astaga, coba kau bayangkan. Adik seorang Zane Marvori adalah seorang gadis yang memiliki keterbelakangan mental."
Ucap Rhea lagi."Terserah kau saja. Tapi pergilah dengan Johan."
Zane akhirnya menyerah, meskipun geram tapi ia sama sekali tak berani untuk menentang keputusan Rhea."Johan sedang mengurusi perusahaan berlian mu. Dia sudah pergi sejak pagi - pagi buta. Aku bisa pergi sendiri, jika kau takut terjadi sesuatu padaku, seharusnya kau membekaliku dengan salah satu koleksi pistol mu."
Ujar Rhea dengan santainya."Bawalah satu, ambil mana yang kamu mau. Jika saja punggungku tidak nyeri lagi, mungkin aku akan mengikuti mu."
"Sebentar lagi usiaku menginjak dua puluh sembilan tahun, Zane. Jadi berhenti memperlakukan diriku seperti anak kecil."
Sungut Rhea, gadis itu segera menghabiskan kopinya sebelum berakhir meninggalkan Zane menuju kamarnya.
Sementara itu Zane hanya menggeleng pasrah menyaksikan tingkah adik angkat nya itu.Sebelum memutuskan untuk membersihkan diri, Rhea terlebih dahulu membuka laptopnya untuk melihat data - data mengenai Roberto Camarri yang di kirimkan oleh Johan sejak tiga hari yang lalu. Rhea sudah sempat membacanya namun kali ini ia ulangi lagi untuk memastikan apakah rencananya akan sesuai atau tidak.
"Halo, Jo."
Sapa Rhea dari balik ponselnya. Johan yang dikata sedang sibuk di perusahaan berlian milik Zane rupanya tengah sibuk mempersiapkan segala rencana untuk melumpuhkan Roberto bersama Rhea tentunya."Iya Nona. Bagaimana?"
Tanya Johan yang stand by di dalam mobilnya, sejak pagi - pagi buta ia telah meninggalkan mansion Zane untuk mengintai sekitar markas klas Camarri."Apa semua aman? Ruang VIP yang ku peas semua nya juga sudah siap?"
Tanya Rhea begitu serius."Semua aman Nona, disana ada Paman Peter dan saya masih memantau pergerakan dari markas Camarri."
Ungkap Johan lagi."Oke bagus, aku akan tiba secepatnya. Tetap pantau semua pergerakan yang di lakukan oleh mereka. Dan pastikan semua sesuai rencana."
Rhea segera mematikan sambungan ponselnya dengan Johan untuk bergegas bersiap.
Ini adalah sebuah rencana yang besar, Rhea tidak mau ada kesalahan sedikitpun sebab ia ingin ini semua segera berakhir mengingat ia berjanji pada Ayahnya untuk segera kembali sebelum kampanye terakhir di langsungkan._connect immediately_
KAMU SEDANG MEMBACA
Not As Beautiful As Love Should Be
Romancesebenarnya sederhana, namun dari kata sederhana itulah sesuatu yang terlihat sederhana tidaklah sesederhana itu. ini bukan tentang kisah yang menye - menye ~inspired by major teddy and the ganks~ Noted : Ini semua hanyalah kisah khayalan untuk memen...