17 🌻

12 6 8
                                    

Sang atma telah menjadi amerta, mencari tubuh anantara.

Kalimat pertama pada buku itu membuat Ralu mengkerutkan dahinya penasaran dengan isi buku itu. Malam hari Minggu ini, Ralu memutuskan untuk membaca buku tua bersampul cokelat yang terlihat kotor.

Rumah Ralu hari ini lumayan sepi, seperti biasanya orang tua Ralu tidak akan pulang selama lima hari karena pekerjaan mereka. Ralu sudah terbiasa dengan itu, Ralu adalah satu-satunya anak di keluarga tersebut. Ralu hanya ditemani oleh beberapa pembantu di rumahnya.

Kamar Ralu terlihat rapi dengan buku-buku yang berjejer di rak buku. Kamar dengan cat biru yang terlihat elegan dengan ornamen putih di setiap sudutnya. Dengan ruangan yang luas, Ralu menghabiskan waktunya di ruangan itu.

Tangan Ralu membuka halaman buku selanjutnya. Sebuah kisah tentang penyihir tertulis dihalaman itu. Ralu merasa tidak asing dengan kisah itu.

"Ah, ini cerita tentang penyihir yang dibunuh," gumam Ralu.

Kisah yang tidak diketahui nyata atau tidaknya.

Dahulu, seribu tahun yang lalu seorang wanita yang telah lama menjadi penyihir membunuh banyak orang. Seratus lima puluh bayi hilang dan tak pernah ditemukan kembali, menjadi korban penyihir itu. Lima puluh gadis muda, juga ditemukan tewas dengan kondisi kehabisan darah.

Wanita itu telah membuat perjanjian terkutuk dengan iblis, yaitu Teivel. Penyihir itu melakukan perjanjian agar jiwanya tetap abadi.

Hingga seorang warga menemukan penyihir itu sedang melakukan ritual dengan darahnya, suara tangis bayi terdengar didalam gubuk, tempat wanita itu melakukan ritual. Warga itu melaporkan pada pihak kerajaan Krystallo tanpa takut. Hingga tepat satu minggu setelah itu, wanita itu ditangkap oleh penyihir agung, yang tak lain adalah Seph.

Wanita itu hanya bersikap tenang saat ditangkap. Penyihir itu dengan cepat dibiarkan diikat disebuah tiang tanpa dibunuh. Seph sudah menyegel kekuatan penyihir wanita itu.

Hingga, dia mati kelaparan di sana. Tapi, penyihir itu masih ada hingga sekarang. Sang atma telah menjadi amerta, mencari tubuh anantara.

"Sang jiwa telah menjadi abadi, mencari tubuh tanpa jiwa," ucap Ralu mengartikan ucapan tersebut.

Mana permata-permata yang menyebar itu berasal dari mana milik Seph. Permata itu terus berpindah ketubuh orang lain, jika tubuh yang permata itu tempati sudah tak memiliki jiwa.

Permata yang belum disentuh seseorang, hanya berwarna hitam. Namun, ketika permata itu menemukan tubuh yang akan ditempati, permata itu akan menyesuaikan dengan warna kekuatan seseorang tersebut.

Semua informasi itu, Ralu dapatkan dari buku itu. Hingga halaman terakhir, Ralu belum menemukan nama penyihir wanita itu ataupun deskripsi tentang penyihir itu.

Ralu memutuskan untuk menaruh buku tua itu. Getaran ponsel milik Ralu membuat Ralu mengalihkan perhatiannya. Sebuah panggilan telepon, dia segera mengangkat telepon itu setelah tau siapa yang menelponnya.

"Kenapa Yah?" tanya Ralu.

Sebuah jawaban terdengar, Ralu rasanya sudah muak mendengar kalimat itu.

"Iya, Aku lagi belajar kok, nilai Aku baik-baik aja, gak turun. Udah Yah, Aku capek." Ralu dengan cepat mematikan panggilan telepon itu.

Ayahnya selalu menuntut Ralu untuk mendapatkan nilai bagus, Ralu selalu berusaha mendapatkan nilai bagus. Tapi nyatanya, ayah dan ibunya tidak pernah mengapresiasinya.

Ralu berjalan ke arah balkon kamarnya, udara dingin menerpa kulit Ralu. Ralu tidak peduli dia kedinginan atau akan sakit saat terkena udara dingin.

Dia menatap langit dengan tatapan sedih, air matanya selalu ia tahan agar tidak keluar. Dia ingin mendapatkan kasih sayang dari kedua orang tuanya, Ralu iri dengan Linn yang bisa mendapatkan kasih sayang dari ayah Linn. Ralu ingin dia mendapatkan kasih sayang dari kedua orang tuanya, tapi mereka berdua selalu sibuk dengan pekerjaan mereka.

EDELSTENEN Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang