28

4.6K 379 29
                                    

Rembulan menghentikan langkah nya saat melihat siapa tamu yang duduk di meja makan.

Syahdu menatap kehadiran Rembulan. Ia menatap anak nya lalu tersenyum.

"Sini sayang. Duduk! Kita sarapan!"

Rembulan pun mendekat lalu menarik kursi. Seno tersenyum lembut sembari menyapa.

"Selamat Pagi, Nak."

Rembulan menipiskan bibir nya.

"Bapak ngapain kesini pagi-pagi? Sengaja mau numpang sarapan?"

Kasar bunyi nya pertanyaan Rembulan. Namun Seno tidak tersinggung. Ia malah mengangguk.

"Iya. Papa kangen sama masakan Mama kamu."

Syahdu mengulum bibir nya merasakan perasaan hangat itu masih ada.

"Papa? Siapa? Bapak?"

"...."

"Saya tidak punya Papa. Saya hanya punya Mama."

Rembulan pun mengambil sarapan nya dengan gerakan sedikit kasar.

"Rembulan jangan ngomong begitu, Nak. Sekarang Papa kamu udah di sini sama kita. Jangan terlalu lama membenci."

Seno tidak jadi menyuap sarapan nya. Ia tidak bisa menelan makanan itu selahap sebelum kedatangan Rembulan yang menatap nya dengan aura permusuhan.

"Nggak bisa. Hati aku terlalu sakit dan kecewa." jawab Rembulan tanpa beban.

Syahdu pun menatap Seno yang tersenyum.

"Papa minta maaf, Nak. Papa sudah memberikan luka sama kamu. Papa bersalah sama kamu dan Mama kamu. Tapi, Papa akan mencoba untuk menebus rasa bersalah Papa mulai sekarang."

"Dengan cara apa?"

Seno terkejut di tantang oleh Rembulan. "Menebus dengan cara apa? Bahkan Bapak sudah kehilangan momen dan waktu selama aku hidup di atas muka bumi ini."

"Ya, Papa tahu. Maka dari itu mulai sekarang izinkan Papa ada buat kalian berdua."

"Tidak perlu."

Terdengar helaan nafas dari Syahdu dan bunyi denting piring sangat keras.

"Kalian tetap akan berdebat? Tidak mau sarapan?"

Baik Rembulan maupun Seno terdiam melihat tatapan marah Syahdu.

"Sekarang Makan. Kalau mau berdebat dan bertengkar lagi nanti lanjutkan."

"Siapa yang berdebat? Mama nggak lihat aku cuma nggak suka sama kehadiran Bapak ini di sini."

"Kamu harus membiasakan nya karena Papa akan sering ke sini."

"Kalau begitu sekarang aku yang memegang kunci rumah."

Seno di buat terperangah dengan jawaban anak nya.

"Sudah, Mas. Kamu lanjut makan. Kamu harus ke kantor kan?"

Seno mengangguk. "Kamu juga harus sekolah kan? Mau telat?"

Rembulan mencebik. Ia tidak suka dengan perubahan Mama nya.

Selesai sarapan Seno bersikeras ingin mengantar Rembulan ke sekolah. Namun sekeras Seno membujuk sekeras itu pula Rembulan menolak.

"Udah kamu berangkat di antar sama papa saja. Biar cepat. Ini udah hampir telat." ujar Syahdu. Rembulan melotot mendengar perkataan Syahdu.

Tidak salah Mama nya berucap barusan. Padahal Mama nya tahu seberapa besar ia membenci laki-laki yang notabene Papa nya sendiri.

"Sekolah kamu itu satu arah sama kantor Papa kamu. Jadi yaudah biar cepat barengan saja. Sana masuk mobil!"

MAHLIGAI SYAHDU (EBOOK READY DI GOOGLEPLAY/PLAYSTORE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang