Pertanda Kecil Dari Bali Ditengah Dendam

22 2 0
                                    

Aku mulai mencoba mengubur duka dan luka itu sedalam mungkin, aku jalani hari-hari ku kembali sebagai seorang mahasiswa...

Aku mempercantik diri, aku kembali berprofesi sebagai model, aku menjadi primadona yang cukup populer di kampus, dengan segudang prestasi dan skill piano diatas rata-rata.

Lewat piano,
Aku alihkan duniaku yang menyakitkan.
Aku memilih mengungkapkan semua ekspresi emosionalku lewat setiap gerakan jariku di piano.

Aku mulai menemukan diriku yang lebih berharga sebagai seorang profesional pianist.

Aku bangkit dalam keadaan dendam, akupun mulai meragukan pertolongan Tuhan , hingga aku mencari pembenaran bahwa sesungguhnya TUHAN TIDAK ADA. Semasa kuliah aku juga mempelajari berbagai agama, berbagai kitab, berbagai aliran kepercayaan, hingga terlalu banyaknya perspektif tentang Tuhan membuatku semakin memilih untuk menganggap Tuhan hanyalah imajinasi manusia.
Kemampuan supranatural itupun aku abaikan walau sesekali aku bisa merasakan, melihat, tapi dimasa ini bisa dikatakan aku kehilangan 99% kemampuanku.

Hingga suatu ketika,
Aku mendapati beberapa keanehan semasa kuliah,
Aku adalah penggiat seni musik barat. Tetapi entah kenapa aku selalu unggul di Etnomusikologi, Gamelan Bali, dan bahkan aku juga menjadi fans dari beberapa grup musik tradisional Bali di Jakarta.

Sampai dititik karya tulis ilmiah atau skripsi,
Seharusnya judul ku tentang piano dapat persetujuan dari para dosen, secara aku adalah seorang pianist yang cukup matang, tapi kenapa justru aku dipilihkan judul tentang analisa musik Bali?

Saat itu aku tidak pernah ke Bali. Bagaimana mungkin aku meneliti musik Bali? , tetapi anehnya skripsi ku tentang analisa musik Bali tersebut malah cumlaude.

Selain kehebatan ku di sisi prestasi,
Aku masih memelihara dendam terdalam ku terhadap Den Gung Dhana. Dan rasa penasaran ku terhadap keberadaan anakku.

Untuk menutupi kehancuran hati dan mental ku saat itu,
Aku yang kala itu masih cantik (katanya), merasa sangat mudah menaklukkan pria manapun yang aku inginkan.

Tetapi sungguh aku tidak mau menikah.
Karena cinta ku yang habis dilahap Den Gung Dhana dan hati ku yang berat untuk berbahagia diatas tragedi hilangnya anakku.

Aku mulai menerima ajakan lelaki manapun hanya untuk sekedar bermain-main.
Aku mengizinkan siapapun memberikan aku hadiah tanpa aku harus berkomitmen dan mengotori tubuhku, aku mainkan rasa penasaran para lelaki hidung belang,
Aku menikmati mereka,
Tanpa pernah mereka menikmatiku. Paham kan?
Layaknya seorang Playgirl yang gak mau rugi.

Aku sengaja memperkenalkan mereka (berarti tidak 1-2 orang saja) ke hadapan mamaku.
Ya, biar mereka lihat putri cantiknya sudah tidak punya hati lagi.

Suami orang, om om, semua aku kenalkan ke orang tua ku,
Sengaja.
Ngerti kan?

Sampai di suatu hari,
papaku yang selama ini lebih banyak diam, angkat bicara.

Kala itu, papa sedang dalam penelusuran silsilah keluarga...
Papa berhasil merangkai silsilah keluarga tanpa pernah kami anak2nya memahami.

Namun penelusuran papa terhenti karena melihat ulahku yang selalu didatangi laki-laki yang bukan pria single.

Sampai papa menegur,
Dan aku malah berkata
"Udahlah gapapa, toh aku kan gak mo nikah. Biarin aja aku begini ya, yang penting happy. Nikah gak penting"

Tidak lama dari itu,
Papa jatuh sakit...
Papa stroke...
Dan beberapa keluarga seolah mengintimidasi ibarat aku penyebab sakit papa yg diawali dari pikiran.

:)

Hingga sakitnya papa membuatku kehilangan satu-satunya anggota keluarga yang paling mengerti aku.
Walau sampai detik ini papa masih hidup, tapi aku adalah seutuhnya gambaran sosok papa, sehingga aku kehilangan teman pengertian sekaligus pelindung :)

"NINGRAT"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang