Sang Atheis Berketurunan

21 2 0
                                    


Di situasi kritisnya, papa hanya menginginkan putri bungsunya membuang masa lalu kelam, bertaubat, dan menikah dengan sangat terhormat sebagaimana mestinya...

Saat ia berada di rumah sakit sekian lama, aku dan keluargaku mengusahakan pendapatan tambahan untuk kesembuhan papa.

Lalu aku menjual beberapa barang yang ku bisa jual online,
Hingga aku bertemu seorang pembeli, sebut saja Fadly.

Saat bertemu dengannya dalam rangka COD, tidak membutuhkan waktu lama, pertemuan ke 3 ku dengannya aku tidak lagi memikirkan bahwa menua bersama membutuhkan cinta. Yang ku pikirkan hanya menikah agar disaksikan papa.

Lalu dengan cepat, tidak lama pendekatan dan perkenalan itu, aku minta dia melamar ku.

Lalu kami menikah,
Tetapi sejak sebelum aku hamil kami sudah menemukan banyak ketidakcocokan,
Sosok aku yang begitu keras dan mendominasi, membuat aku cenderung gagal menghormati suamiku sendiri.

Aku alihkan tanggungjawab ku sebagai istri dengan sibuk berkarir, berteman, membangun usaha ini dan itu, dengan atau tanpa sepengetahuan suamiku sendiri.

Hingga dimasa kehamilan,
Dari luar melihat kami baik-baik saja, tetapi sejujurnya kami tidak pernah baik-baik saja.

Entah kenapa,
Aku selalu mengeluarkan kalinat-kalimat merendahkan,
Tidak seperti ketika aku bersama seorang Raden Tumenggung sekalipun ia seorang bajingan tidak bertanggung jawab aku bisa menjadi wanita patuh sebagaimana mestinya.

Dari suamiku, aku melahirkan seorang putra, sebut saja Babang (samaran) Aku tidak bisa membubuhkan gelar keturunan bangsawan untuk anakku karena suamiku bukanlah seorang bangsawan.

Anak kecil ku saat ini tumbuh sangat menggemaskan , dan pintar, sedikit kritis dan iri dengan nama keluarga yg lain, jadi sering kali dia meminta nama Raden disebutkan didepan namanya. Hehehe...

Singkat cerita,
Aku menyadari bahwa aku gagal mencintai suamiku sendiri, padahal dia orang yang cukup baik.

Sebagai seorang muslim, suamiku adalah orang yang taat beribadah, namun dia tidak pernah mengajakku shalat karena dia tau aku berada diambang antara beragama dan tidak.

Aku selalu gagal menguasai diriku sendiri, seolah diri ini tidak bisa dididik menjadi pendengar, tetapi menjadi istri yang perlu selalu didengar, bahkan aku tidak segan berkata dan bertindak kasar terhadapnya karena merasa lebih dan lebih.

Satu hal yang aku sadari,
Mungkin 'pendamping'ku yang selalu merendahkannya, percaya atau tidak, tetapi aku menyadari siapa aku dan siapa dia...
Aku kira ini mitos, bahwa katanya perempuan berkasta sebaiknya hanya menikah dengan yang juga berkasta. Agar tidak terjadi kesenjangan yang tidak disadari.

Aku menjadi istri yang tidak patuh pada suami,
Dan aku pun tidak mengikuti ajaran islam..

Tapi aku hanya ingin berusaha menjadi yang terbaik untuk putra kesayanganku, walau aku dan suamiku gagal untuk saling membina rumah tangga.

Ditengah pernikahan kami pun, berkali-kali Den Gung Dhana mencari ku kembali setelah ia kembali ke Indonesia, bahkan ia mengiming-imingi akan menjemput anak kami Chakra jika aku mau meninggalkan suamiku saat itu dan menikah dengannya.

Sakitnya, dia menunjukkan foto dan video anakku saat itu yang sudah balita, tapi aku memilih untuk fokus pada bayi ku yang statusnya di dalam pernikahan sah.

Dia gagal menikah dengan si perempuan yang ayahnya membiayai sekolah helikopter dia di Amerika, dan sepertinya dia mencariku karena keadaannya yang tidak baik2 saja.

Walau aku jujur masih mencintainya kala itu,
Dan bahkan suamiku menawarkan "Silahkan",
syukurlah aku tidak bodoh untuk kembali pada bajingan itu walau aku mempertaruhkan anak yang selama ini aku cari.

"NINGRAT"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang